KUNJUNGILAH !!!!

TERIMA KASIH Telah Mengunjungi Blog Ini


Jumat, 20 Januari 2012

Keadilan Sosial Kasus Sandal

Kita melihat dari pada yang pertama yaitu dari duduk perkara dan sidang pengadilan atas kasus ”pencurian” sandal sudah dibuka lebar-lebar oleh berbagai media, baik media cetak maupun elektronik.

AAL (15 tahun), pelajar SMK di Palu itu, dinyatakan terbukti mencuri sandal jepit polisi Polda Sulawesi Tengah. Walau bersalah, dia tidak dihukum, tetapi dikembalikan ke orangtuanya. Publik tergagap-gagap dan bertanya, beginikah penegakan hukum di Indonesia? Pro dan kontra atas kasus itu pun berlangsung dalam perdebatan yang tak jelas ujungnya. Perdebatan bukan hanya pada lapisan masyarakat yang ”awam” hukum, melainkan juga mereka yang ”ahli” hukum. Publik menafsirkan dan memaknai kasus sandal itu sesuai tingkat kepahaman masing-masing tentang hukum dan pengadilan.

Tak bisa dimungkiri, kekuatan publik dan media sangat berpengaruh pada penanganan kasus ini. Aksi pengumpulan ribuan sandal jepit ke Kapolri pun tak luput dari perhatian presiden meski tanpa diikuti tanggapan apa pun. Secara sosiologis, aksi tersebut pasti berpengaruh terhadap sikap hakim ataupun kualitas vonis yang dijatuhkannya.

Kasus yang tergolong ”kecil” dan dialami orang awam, anak-anak, remaja, atau orang miskin/lemah seperti ini memberi pelajaran berharga bagi publik (masyarakat banyak) bahwa hukum dan pengadilan negara itu amat exsoterik, hanya dapat dipahami oleh profesional di bidang hukum. Langkah ibu AAL yang mendorong agar kasusnya dibuka di pengadilan untuk membuktikan bahwa anaknya tak mencuri tanpa disadari sudah menceburkan dirinya ke dalam dunia lain dan asing bagi dirinya, yaitu pengadilan.

Logika awam tak mencukupi untuk memahami bahasa, istilah, konsep, dan berbagai doktrin hukum positif yang berlaku di dunia pengadilan. Wajarlah timbul berbagai  pertanyaan, kok, putusannya seperti itu? kata kak Seto Mulyadi, Ketua Komisi Dewan Pembina Komnas Perlindungan Anak Indonesia, ini semua karena kecewa atas vonis hakim ini. 
     
     Coba saja kita bayangkan selaku para mahasiswa (pelajar), betapa berat beban dari pada psikologis AAL untuk harus menanggung stigma sebagai ”pencuri” yang melekat sepanjang hidupnya. yang mana nanti suatu masa ia akan muncul dan berbaur kedalam masyarakat luas atau masyarakat di sekitarnya. dan orang-orang yang ada di sekitarnya mengatakan mantan pencuri, misalnya betapa sedihnya, betapa besar penderitaan psikisnya secara psikologi kenanya.

     Kasus ini membuktikan, logika awam dan logika hukum positif memang berbeda. Ketika kedua logika itu berada dalam jurang pemisah, kekecewaan publik akan muncul dalam berbagai bentuk, baik halus maupun dengan kekerasan. Di situlah semestinya ada kesadaran bagi semua profesional hukum untuk mempersempit jurang pemisah logika hukum tersebut.

       Dan pada hemat saya, pelajaran terbaik dari kasus ini adalah perlunya pembenahan terhadap sistem peradilan pidana. Profesional hukum (polisi, jaksa, hakim, dan pengacara) bekerja berdasarkan sistem itu, padahal kewenangan masing-masing berpotensi besar berbenturan dengan keinginan publik. Indonesia perlu mengubah sistem itu menjadi social juctice system. 

      Apabila sistem ini terbangun, semua kekuatan publik dan profesional hukum dapat berangkulan dalam satu panggung penegakan hukum sehingga logika publik dan logika hukum positif dapat dipertemukan. Bukankah penegakan hukum itu wajib berdasarkan Pancasila, yang sila kelima berbunyi: ”Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.dari sila yang ke lima ini muncul lagi artian kita, asumsi kita dimana Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia ini yang ada didalam batang tubuh pancasila kita yang menjadi panutan kita selaku orang yang berbakti kepada bangsa dan negara kita tercinta ini. 

    Jadi rasa kebersamaan didepan mata hukum itu sudah tidak ada pada hal di dalam teorinya mengatakan bahwa prinsip persamaan didepan hukum iitu adalah wajib, namun jika begini maka berdasarkan pola pikir saya persamaan didepan mata hukum itu tidak tercapai menurut saya. dan pelajaran sosiologi hukum ada hal yang mengatakan bahwa semakin rendah status sosial seseorang didalam suatu masyarakat, maka semakin banyak perangkat hukum yang mengaturnya. dan semakin tinggi status sosial seseorang didalam suatu masyarakat,  maka semakin sedikitlah perangkat hukum yang mengaturnya. berarti ini yang kita ambil didalam bermasyarakat kata dosen saya bahwa hal macam ini atau kondisi-Kondisi tersebut bertentangan dengan prinsip persamaan di depan hukum.
     
     Kalau saya memandang dari sudut sosiologi hukum ini adalah terdapat sebuah konsep lama yaitu yang telah ditanamkan kedalam diri para penegak hukum yaitu stratifikasi sosial yang mana yang dilihat yaitu stratifikasi sosial dari pada kehidupan anak ini. Jadi sungguh nampak sekali dengan nyata bahwa rasa pelapisan masyarakat itu sangat mempengaruhi hukum dan pola kehidupan berbangsa kita. 

dan pranata sosial dalam kehidupan bermasyarakat kita sangat kurang, bisa dikatakan belum memadai lagi interaksinya dalam kehidupan nyata keseharian. dan masih banyak lagi yng belum mencukupi yaitu diantaranya pranata hukum, pranata ekonomi,pranata sosial, pranata pendidikan dan lain-lainnya dan ini adalah dapat memberikan dampak positif pada masyarakat jika masyarakat melaksanakan ini semua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar