KUNJUNGILAH !!!!

TERIMA KASIH Telah Mengunjungi Blog Ini


Selasa, 24 Januari 2012

Makalah Hukum Penerbangan Pendaftaran Pesawat Udara (UU No.1/2009)

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
 Setiap negara memiliki wilayah kedaulatan sendiri-sendiri. Wilayah suatu negara sebagai suatu ruang, tidak saja terdiri atas daratan atau tanah tetapi juga perairan dan wilayah udara. Secara rinci bagian-bagian dari wilayah suatu negara meliputi wilayah daratan termasuk tanah dibawahnya, wilayah perairan, dan wilayah ruang udara dan ruang angkasa.
Kedaulatan terhadap wilayah suatu  negara adalah mutlak, namun untuk dapat mengadakan hubungan antar negara, Wilayah perairan dan wilayah udara memiliki keistimewaan sehingga dikenal adanya Hukum Laut dan Hukum Udara. Berbeda dengan wilayah Laut yang memiliki hak lintas damai, wilayah udara suatu negara merupakan  kedaulatan dari negara yang berada di bawahnya.  Untuk dapat melintas berlaku juga lintas damai namun tidak secara mutlak karena harus memperoleh  izin dari negara yang kedaulatannya dilalui oleh pesawat atau yang dikenal dengan azas Cabotage.
Hukum Udara, adalah hukum yang mengatur obyek udara, telah dikenal sejak jaman Romawi, dengan adanya Prinsip ”Cuius est solum, eius est usque ad coelum” (yang memiliki tanah, memiliki juga udara diatasnya sampai ke langit), persoalan yang sering diperdebatkan adalah masalah kedaulatan di ruang udara, terutama antara mereka yang berpendapat bahwa ” ruang udara adalah bebas” dan antara mereka yang berpendapat bahwa ”negara masing-masing berdaulat diruang udara diatasnya”.

Dalam hal ini soal jarak sama sekali tidak memainkan peranan melindungi wilayah negara, Dalam era teknologi canggih dewasa ini, karena bahaya yang dapat ditimbulkan dari penerbangan pesawat asing di atas wilayah suatu negara terhadap keamanan nasional negara lain adalah sama, lepas dari ketinggian terbangnya pesawat asing tersebut maka perlu adanya pengaturan di ruang udara atau Hukum Udara.(http://lapan.go.id)        
Otto Riese dan Jean T.Lacour dalam buku mereka ”Precis de Droit Aerien” menyebutkan Hukum udara adalah seluruh norma-norma hukum yang khusus mengenai penerbangan, pesawat-pesawat terbang dan ruang udara dalam peranannya sebagai unsur yang perlu bagi penerbangan, maka rasanya Hukum Penerbangan merupakan istilah yang tepat. Namun Hukum udara dapat ditafsirkan sebagai segala peraturan hukum yang mengatur obyek tertentu yaitu udara. (E. Suherman, 1983:5)
Hukum Penerbangan baru timbul ketika manusia mengarungi udara dan erat kaitannya dengan kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam lapangan tehnik penerbangan, terutama dalam beberapa tahun sebelum dan sesudah perang dunia II. Pengembangan penerbangan yang ditata dalam satu kesatuan sistem, dilakukan dengan mengintegrasikan dan mendinamisasikan unsur-unsurnya yang terdiri dari prasarana dan sarana penerbangan, peraturan-peraturan, prosedur dan metoda sedemikian rupa sehingga terwujud suatu totalitas yang utuh, berdayaguna, berhasil guna serta dapat diterapkan.
        Penerbangan yang pertama kali dilakukan tanggal 17 Desember 1903, di Amerika, oleh Orville Wright dan saudaranya Wilbur, ini merupakan penerbangan pertama yang dilakukan oleh manusia dalam sejarah dunia. Penerbangan dengan pesawat yang mampu mengangkut manusia, mampu tinggal landas dengan tenaganya sendiri untuk melakukan penerbangan penuh dan bergarak maju tanpa kecepatannya berkurang, dan kemudian mampu mendarat dengan selamat. (Achmad Moegandi, 1996:41-42)
Dalam sejarah, penerbangan pertama kali di Indonesia terjadi pada tanggal 19 Febuari 1913 ketika J.W.E.R. Hilgers, seorang Belanda, melakukan penerbangan di atas kota Surabaya dengan sebuah pesawat fokker. Peristiwa tersebut ternyata bukan hanya merupakan penerbangan pertama, tetapi juga peristiwa kecelakaan pertama yang terjadi di Indonesia, karena pada hari itu pesawat yang ditumpangi Hilgers jatuh di desa Baliwerti, dekat Surabaya. (R.J. Salatun,1950:72)
Sesuai dengan peran dan fungsi penerbangan yang sangat penting terutama ditinjau dari segi politik, ekonomi dan kedaulatan negara, telah menyebabkan perkembangan yang sangat pesat terhadap dunia penerbangan. Perkembangan ini tidak hanya dalam jumlah pesawat udara tetapi juga dalam jumlah perjanjian antar negara (bilateral) untuk membuka jalur penerbangan.
Pentingnya peraturan tentang penerbangan negara-negara di dunia melahirkan Konvensi-Konvensi Internasional tentang penerbangan sipil Internasional diantaranya Convention Relating to The Regulation of Air Navigation (Paris Convention 1919), Convention on International Civil Aviation (Chicago Convention 1944), Convention for The Unification of Certain Rules Relating to International Carriage by Air 1929 (Warsawa Convention 1929) dan Convention on Damage Caused by Foreing Aircraff to third Parties on Surface (Roma Convention 1952)
Masalah yang mungkin timbul karena adanya penerbangan internasional adalah apabila terjadi kecelakaan yang melibatkan negara-negara yang memiliki kedaulatan masing-masing wilayah. Dalam penerbangan antar negara apabila terjadi suatu kecelakaan pesawat akan melibatkan berbagai pihak, diantaranya negara pesawat (state of registry), negara tempat jatuhnya pesawat (state of occurrence), negara pembuat pesawat/negara pabrik (state of desing and manufacture), ICAO (International Civil Aviation). Dari kecelakaan tersebut maka timbul hak dan kewajiban dari pihak-pihak yang terlibat. Hak dan kewajiban tersebut menimbulkan kewenangan dan tanggung jawab negara-negara. Maka oleh karena itu maka dibutuhkan kebangsaan suatu pesawat untuk lebih mudah mengenal pemilik dan tempat asal pesawat tersebut serta memudahkan informasi satelit radio berkomunikasi atau memberikan informasi.
B.     Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari penulisan makalah ini adalah:
a.       Bagaimana Prosedur Pendaftaran Dan Kebangsaan Pesawat Terbang?
b.      Bagaimana perubahan sertifikat pesawat ?
c.       Bagaimanakah Tanda kebangsaan dan tanda pendaftaran ?
d.      Apa saja  sumber-sumber hukum penerbangan di Indonesia ?

BAB II
PEMBAHASAN
A.    PROSEDUR PENDAFTARAN PESAWAT
1.      PESAWAT UDARA SIPIL
Setiap pesawat yang telah didaftarkan akan diberikan Sertifikat Pendaftaran (Certificate of Registration = C o R) dan akan tercatat dalam daftar pesawat udara sipil. Semua daftar pesawat udara sipil yang terdaftar di Indonesia sesuai pasal 9 UU No. 15/1992 harus dirawat oleh Dirjen Perhubungan       Udara.
 Daftar tersebut meliputi beberapa hal, yaitu :
Ø Nomor sertifikat pendaftaran
Ø Tanda kebangsaan dan tanda pendaftaran
Ø Nama/sebutan pesawat menurut manufaktur pembuat pesawat
Ø Nomor seri/serial number pesawat udara
Ø Nama Pemilik
Ø Alamat pemilik
Ø Nama operator terdaftar
Ø Alamat operator
Ø Tanggal pendaftaran dan masa berlaku
Ø Jenis penggunaan pesawat udara


 Pesawat yang Didaftarkan.
Pesawat udara yang dapat didaftarkan di Indonesia jika pesawat tersebut : Dimiliki dan dioperasikan oleh orang-orang yang berhak menjadi pemilik pesawat udara yang didaftarkan di Indonesia. Yang diijinkan untuk dapat memiliki pesawat udara dan didaftarkan di Indonesia adalah :        
1.      Warga Negara Indonesia atau badan hukum Indonesia,
2.      Warga Negara Asing atau badan hukum asing dan pesawat dioperasikan oleh warga Negara Indonesia atau badan hukum Indonesia untuk jangka waktu pemakainannya minimal dua tahun secara terus menerus berdasarkan suatu perjanjian sewa beli, sewa guna usaha atau bentuk perjanjian lainnya,
3.      Instansi Pemerintah,
4.      Lembaga tertentu yang diijinkan oleh Pemerintah,Pesawat tidak terdaftar di Negara lain.
Semua pajak dan pembayaran telah terselesaikan sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia.
Telah bersertifikat dan dilengkapi dengan peralatan sesuai peraturan yang berlaku menurut jenis penggunaan pesawat tersebut.
Sebagaimana yang telah disebutkan didalam peraturan penerbangan Republik Indonesia pasal 25  Undang-Undang No 1 tahun 2009 yang berbunyi:
 ‘’Pesawat udara sipil yang dapat didaftarkan di Indonesia harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a.       Tidak terdaftar di negara lain; dan
b.      Dimiliki oleh warga negara indonesia atau dimiliki oleh badan hukum Indonesia;
c.       Dimiliki oleh warga negara asing atau badan hukum asing dan dioperasikan oleh warga negara indonesia atau badan hukum indonesia untuk jangka waktu pemakaiannya minimal 2 (dua) tahun secara terus-menerus berdasarkan suatu perjanjian;
d.      Dimiliki oleh instansi pemerintah atau pemerintah daerah, dan pesawat udara tersebut tidak dipergunakan untuk misi penegakan hukum; atau
e.       Dimiliki oleh warga negara asing atau badan hukum asing yang pesawat udaranya dikuasai oleh badan hukum indonesia berdasarkan suatu perjanjian yang tunduk pada hukum yang disepakati para pihak untuk kegiatan. penyimpanan, penyewaan, dan/atau perdagangan pesawat udara.”

  Sertifikat Pendaftaran (Certificate of Registration = C o R).
Sertifikat Pendaftaran (Certificate of Registration = C o R) merupakan bukti pendaftaran suatu pesawat udara, C o R ini berlaku selama 3 tahun dan dapat diperpanjang. C o R berwarna kuning dan pada bagian belakangnya terdapat cuplikan Undang-Undang Penerbangan yang mengatur masalah pendaftaran pesawat udara
2.      PENDAFTARAN PESAWAT UDARA
Pemilik pesawat udara yang akan mendaftarkan pesawat udaranya di Indonesia, diharuskan memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Persyaratan Tahap Pertama
a.       Mengajukan permohonan pendaftaran pesawat udara (Form KU-011 DGAC)
b.      Menyerahkan salinan surat ijin pengadaan pesawat/helicopter,
c.       Menyerahkan salinan bukti kepemilikan pesawat udara (missal : bill of sale, perjanjian jual beli, dll).
d.      Menyerahkan salinan surat serah terima (acceptance letter),
e.       Menyerahkan salinan surat pembatalan pendaftaran dari Negara asal bila pesawat tersebut sebelumnya telah didaftarkan atau surat pemberitahuan bahwa pesawat belum didaftarkan,
f.       Menyerahkan Airwortness Certificate fir Export,
g.      Menyerahkan rencana penempatan tanda pendaftaran di pesawat, rencana warna, hiasan dan ukuran-ukurannya,
h.       Menyerahkan ijin operasi (bagi operator baru),
i.        Pesawat telah memenuhi persyaratan import pesawat terbang.
2. Persyaratan Tahap Kedua
Persyaratan ini dipenuhi bila pesawat telah didaftarkan di Indonesia, yaitu :
a.       Menyerahkan salinan bebas bea cukai,
b.       Menyerahkan salinan Surat ijin penggunaan frekuensi radio (radio permit),
c.       Menyerahkan salinan bukti asuransi pesawat,
3. Special Permit untuk Sertifikat Pendaftaran
Special permit berlaku sebagai sertifikat pendaftaran sementara bila pemilik belum dapat menyerahkan persyaratan tahap kedua, tetapi telah memenuhi persyaratan tahap pertama dan telah dinyatakan lolos. Masa berlaku special permit adalah 2 bulan dan dapat diperpanjang bila pemilik belum juga dapat menyerahkan persyaratan tahap kedua.
4. Surat Tanda Pendaftaran Sementara
Surat tanda pendaftaran dapat diterbitkan sebagai pengganti special permit bila pemilik pesawat telah menyerahkan radio permit dan bukti asuransi namun belum menyerahkan bukti bebas bea cukai (dengan catatan tidak mendapatkan peringatan dari bea cukai). Surat tanda pendaftaran sementara ini berlaku 1 tahun dan dapat diperpanjang untuk 1 tahun kemudian.
   B.  PERUBAHAN SERTIFIKAT PENDAFTARAN
1. Perubahan Pemilik atau Alamat Pemilik
Apabila terdapat perubahan pemilik pesawat udara, maka C of R dari pesawat tersebut dinyatakan batal dan pemilik lama pesawat harus menyerahkan kembali kepada Dirjen Perhubungan Udara dengan disertai pemberitahuan pergantian pemilik atau alamat dengan disertai nama pemilik dan alamat lengkap yang baru. Untuk keperluan pendaftaran pesawat udara, maka Dirjen Perhubungan Udara dapat menerbitkan C of R bagi pesawat tersebut atas nama pemilik dan alamat yang baru.
2. Pesawat Tidak Dipergunakan Selamanya
Bila pesawat tidak akan dipergunakan lagi selamanya (misal hancur atau sebab lainnya), maka pemilik harus memberitahukan pembatalan dari penggunaan pesawat tersebut dan menyerahkan kembali C of R ke Dirjen Perhubungan Udara. Pesawat tersebut akan dihapus dari daftar pesawat udara sipil Indonesia.

3.      Penggantian Sertifikat Pendaftaran
Jika terjadi sertifikat pendaftaran hilang, rusak, sobek atau lainnya, maka Dirjen Perhubungan Udara dapat menerbitkan kembali salinan (duplikat) Sertifikat Pendaftaran hingga masa berlaku sertifikat asli habis.
Berdasarkan asas dan prinsip hukum perdata di Indonesia khususnya dan yang dianut oleh mayoritas negara-negara di dunia, pesawat terbang digolongkan sebagai benda tidak bergerak. Prinsip hukum ini berpengaruh pada penetapan aturan hukum keperdataan yang berlaku bagi pesawat terbang sebagai objek jaminan, yaitu antara lain dapat mempunyai hubungan dengan lembaga jaminan berupa Hipotik (Hypotheek). Dibeberapa negara maju, lembaga jaminan pesawat terbang telah dilaksanakan melalui ketentuan Mortgage.
Ketentuan mengenai lembaga jaminan pesawat terbang diatur dalam Pasal 9, 10, dan 12 UU No.15 Tahun 1992 tentang Penerbangan mengenai pendaftaran dan kebangsaan pesawat terbang serta lembaga jaminan pesawat terbang.
Dalam Pasal 9 UU Penerbangan diatur bahwa pesawat terbang yang akan dioperasikan di Indonesia wajib mempunyai tanda pendaftaran Indonesia. Dalam hal ini, tidak semua pesawat terbang dapat mempunyai tanda pendaftaran Indonesia, kecuali pesawat terbang Sipil yang tidak didaftarkan di negara lain dan memenuhi salah satu ketentuan dan syarat dibawah ini :
  • Dimiliki oleh Warga Negara Indonesia atau dimiliki oleh Badan Hukum Indonesia;
  • Dimiliki oleh Warga Negara Asing atau Badan Hukum Asing dan dioperasikan oleh Warga Negara Indonesia atau Badan Hukum Indonesia untuk jangka waktu pemakaian minimal 2 (dua) tahun secara terus menerus berdasarkan suatu perjanjian sewa beli, sewa guna usaha, atau bentuk perjanjian lainnya;
  • Dimiliki oleh instansi pemerintah;
  • Dimiliki oleh lembaga tertentu yang diizinkan pemerintah.
Secara khusus ketentuan mengenai pendaftaran pesawat terbang Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan pendaftaran pesawat terbang sipil diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
Selain tanda pendaftaran Indonesia , sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 10 UU Penerbangan, pesawat terbang dan helikopter yang akan dioperasikan di Indonesia wajib pula mempunyai tanda kebangsaan Indonesia. Tanda kebangsaan Indonesia dimaksud hanya akan diberikan kepada pesawat terbang dan helikopter yang telah mempunyai tanda pendaftaran Indonesia. Persyaratan dan tata cara memperoleh dan mencabut tanda kebangsaan Indonesia bagi pesawat terbang dan helikopter dan jenis-jenis tertentu dari pesawat terbang dan helikopter yang dapat dibebaskan dari kewajiban memiliki tanda kebangsaan Indonesia, akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
Dengan diterapkannya pendaftaran terhadap Pesawat Terbang, maka memberikan sifat hak kebendaan yang kuat kepada pemilik dan hak itu mengikuti bendanya ditangan siapapun benda itu berada. Dalam praktek, hal ini memberikan perlindungan yang kuat kepada pemilik, karena pemilik dapat mempertahankan haknya terhadap khalayak umum (publik).
Dengan demikian secara yuridis pesawat terbang atau helikopter merupakan benda yang dapat dijadikan sebagai jaminan pelunasan suatu utang (agunan) sepanjang pesawat terbang atau helikopter tersebut telah mempunyai tanda pendaftaran dan kebangsaan Indonesia. Hal tersebut diatur dalam Pasal 13 Undang-Undang No. 15 tahun 1992 tentang Penerbangan yang secara lengkap berbunyi sebagai berikut :
a)      Pesawat terbang dan helikopter yang telah mempunyai tanda pendaftaran dan kebangsaan Indonesia dapat dibebani Hipotek.
b)      Pembebanan Hipotek pada pesawat terbang dan helikopter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didaftarkan.
c)      Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran hipotek pesawat udara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
      C. TANDA KEBANGSAAN DAN TANDA PENDAFTARAN
Setiap pesawat udara harus diberi tanda pengenal (Identification Mark). Tanda pengenal tersebut terdiri dari tanda kebangsaan (Nationality Mark) dan tanda pendaftaran (Registration Mark). Penulisan dan penempatan nationality dan registration mark ini harus seijin Dirjen Pehubungan Udara dan tidak boleh diubah tanpa ijin. Penulisan tanda kebangsaan dan tanda pendaftaran ini harus :
  1. Ditulis dengan huruf Roman capital, tidak ada hiasan (ornament) atau apapun yang dapat mempengaruhi pembacaan,
  2. Diberi warna yang kontras dan jelas dengan warna dasar pesawat,
  3. Dapat dan mudah terlihat,
  4. Dituliskan pada pesawat dengan cat tahan panas, atau dibubuhkan pada benda yang ditempelkan (removable material) bila :
    • Merupakan tanda kebangsaan dan pendaftaran sementara,
    • Pesawat akan dikirim ke luar negri yang mana akan diganti,
    • Untuk keperluan khusus.
Identitas merek
Tanda kebangsaan (Nationality Mark ) untuk Indonesia adalah PK, dan dilanjutkan dengan tiga huruf tanda pendaftaran (Registration Mark). Antara tanda kebangsaan dan tanda pendaftaran dipisahkan dengan tanda hubung (hyphen). Tidak diperbolehkan menambahkan huruf atau tanda apapun sebelum dan sesudah huruf PK, kecuali untuk keperluan tanda pendaftaran.
Penempatan Tanda Kebangsaan dan Pendaftaran
1. Pesawat Fixed Wing aircraft
Tanda pengenal ditempatkan :
  1. Sekali di permukaan atas sayap kanan,
  2. Sekali di permukaan bawah sayap kiri,
  3. Pada masing-masing permukaan luar dari fuselage atau pada vertical tail surface.
2. Selain Fixed Wing Aircraft
a. Rotorcraft :
1)      Pada permukaan bawah fuselage, dengan bagian atas tulisan ada pada sebelah kiri,
2)      Pada masing-masing permukaan samping dari fuselage.
b. Airship :
Tanda pengenal ditempatkan pada daerah kiri dan kanan hull atau stabilizer sebelah luar.
c. Spherical Ballon :
Tanda pengenal harus diperagakan pada dua tempat yang bertentangan, ditempatkan pada dekat lingkaran balon paling besar.
d. Non- Spherical Ballon :
Tanda pengenal ditempatkan pada tiap sisi luar dari balon, ditempatkan pada daerah yang terbesar dari balon atau diatas tempat pengikat kabel-kabel keranjang.
3. Non Conventional Aircraft
Jika rancangan dari pesawat tidak wajar, sehingga ketentuan diatas tidak bias diperagakan, maka tanda pengenal diperagakan pada tempat yang disetujui oleh Dirjen Perhubungan Udara.

Ukuran Dari Tanda Pengenal
1. Umum
a.       Menggunakan huruf Roman (A B C…) atau angka (1 2 3…) tanpa ornamen atau hiasan apapun,
b.      Lebar dari huruf, termasuk tanda hubung adalah 2/3 dari tinggi huruf, kecuali huruf I dan angka 1,
c.       Huruf, angka dan tanda hubung dibuat dengan warna utuh (blok) dengan tebal huruf 1/6 dari tinggi,
d.      Tiap karakter mempunyai jarak minimal 11/4 dari lebar huruf atau tiap karakter dipisahkan minimal 1/6 dari tinggi huruf.
2. Fixed Wing Aircraft :
a.       Tinggi huruf pada wing tidak kurang dari 50 cm,
b.      Tinggi huruf pada fuselage atau vertical stabilizer tidak kurang dari 30 cm,
c.       Semua tulisan dituliskan pada jarak minimal 5 cm dari sisi tepi.
3. Rotorcraft :
a.       Tanda pengenal dituliskan sebesar mungkin tetapi tidak boleh melebihi struktur pada helikopter,
b.      Tinggi huruf pada wing tidak kurang dari 50 cm,
c.       Tinggi huruf pada fuselage atau vertical stabilizer tidak kurang dari 15 cm.
4. Airships and Ballons :
a.       Tinggi huruf minimal 50 cm.
5. Non-Conventional Aircraft :
Dituliskan dengan ukuran yang disetujui oleh Dirjen Perhubungan Udara. 
        Ukuran Tanda pengenal
Identification Plate
Dibuat dari logam tahan api (fireproof), ditempatkan di daerah yang mudah terlihat (biasanya dekat pintu masuk). Identification Plate berisikan informasi tentang operator, model pesawat, registration mark, serial number pesawat, dan nomor pendaftaran. Tulisan pada Identification Plate ini di grafir.
disclaimer: Peraturan tentang registration mark ada di CASR 45, silahkan merujuk pada dokumen terbaru dari Departemen Perhubungan yang mungkin lebih update

C.    SUMBER-SUMBER HUKUM PENERBANGAN DI INDONESIA
1.      Undang-undang dan peraturan-peraturan penerbangan yang nasional dalam arti dibuat oleh pembuat undang-undang nasional.(Undang-Undang No 15 Tahun 1992 dan Perubahan Undang-Undang No 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan, Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia.No. Km.26 tahun 2001, PP No 71 Tahun 1996 dan peraturan pelaksana lainnya seperti tentang kebandar  udaraan, keselamatan penerbangan lalu lintas udara, angkutan udara, tekhnik perawatan pesawat udara.dll  )
2.      Perjanjian-perjanjian internasional sebagai sumber hukum udara dan hukum penerbangan tidak dapat kita abaikan juga di Indonesia. Misalnya ordonansi pengangkutan udara yang sebagaimana dikatakan diatas merupakan salah satu peraturan penerbangan yang terpenting adalah berdasarkan,kalau kita hendak dikatakanhampir merupakan turunan semata-mata dari pada perjanjian warsawa yaitu perjanjian yang lebih dikenal dengan nama warsa convenstion (Statuta Mahkamah Internasional Pasal 38. Perjanjian Internasional, Kebiasaan Internasional (International Costums), Prinsip-Prinsip Hukum Umum, Doktrin, Yurisprudensi, Dan Sumber Hukum Udara Internasional Terdiri Dari Perjanjian Multilateral, Perjanjian Bilateral, (Bilateral Air Transport Agreement) dll. )
3.      Sebagai sumber hukum penerbangan ketiga di Indonesia persetujuan-persetujuan pengangkutan. Sebagai suatu organisasi internasional, dalam man tergabung sebagian besar dari pada pengangkutan-pengangkutan udara seluruh dunia ang besar-besar, maka IATA (International Air Transport Association) mempunyai kekuasaan yang tidak sedikit terhadap anggota-anggotanya.
4.       Sumber hukum terakhir ialah ilmu pengetahuan. Telah menjadi suatu pendapat yang umum dalam dunia ilmu hukum, bahwa ilmu pengetahuan merupakan suatu sumber hukum. 

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Setiap negara memiliki wilayah kedaulatan sendiri-sendiri. Wilayah suatu negara sebagai suatu ruang, tidak saja terdiri atas daratan atau tanah tetapi juga perairan dan wilayah udara. Secara rinci bagian-bagian dari wilayah suatu negara meliputi wilayah daratan termasuk tanah dibawahnya, wilayah perairan, dan wilayah ruang udara dan ruang angkasa.
Masalah yang mungkin timbul karena adanya penerbangan internasional adalah apabila terjadi kecelakaan yang melibatkan negara-negara yang memiliki kedaulatan masing-masing wilayah. Dalam penerbangan antar negara apabila terjadi suatu kecelakaan pesawat akan melibatkan berbagai pihak, diantaranya negara pesawat (state of registry), negara tempat jatuhnya pesawat (state of occurrence), negara pembuat pesawat/negara pabrik (state of desing and manufacture), ICAO (International Civil Aviation). Dari kecelakaan tersebut maka timbul hak dan kewajiban dari pihak-pihak yang terlibat. Hak dan kewajiban tersebut menimbulkan kewenangan dan tanggung jawab negara-negara. Maka oleh karena itu maka dibutuhkan kebangsaan suatu pesawat untuk lebih mudah mengenal pemilik dan tempat asal pesawat tersebut serta memudahkan informasi satelit radio berkomunikasi atau memberikan informasi.
B.     Saran
Pentingnya peraturan tentang penerbangan negara-negara di dunia melahirkan Konvensi-Konvensi Internasional tentang penerbangan sipil Internasional diantaranya Convention Relating to The Regulation of Air Navigation (Paris Convention 1919), Convention on International Civil Aviation (Chicago Convention 1944), Convention for The Unification of Certain Rules Relating to International Carriage by Air 1929 (Warsawa Convention 1929) dan Convention on Damage Caused by Foreing Aircraff to third Parties on Surface (Roma Convention 1952), kami rasa pesawat itu perlu menerapkan ini semua demi maskapai yang damai, dan  nyaman.
Pemerintah seyogyanya memperhatikan permasalahan ini, karena kebutuhan akan penggunaan pesawat terbang dalam perkembangannya dewasa ini sudah bukan merupakan hal yang exclusive, namun sudah merupakan kebutuhan primer bagi mobilitas umat manusia, sehingga pembiayaan kredit bagi perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang usaha air traffic carrier sangat terbuka luas dan memberikan tantangan peluang usaha kedepan. Sehingga pemerintah dituntut untuk segera mengeluarkan peraturan pelaksanaan tentang tata cara pengikatan pesawat terbang dan helikopter.
Demikian pula untuk pelaku usaha perbankan di tanah air, agar segera  mendapatkan kepastian dalam mengakomodir tantangan dan peluang kedepan dalam melakukan pembiayaan terhadap usaha air traffic carrier sehingga kedepan tidak ada hambatan regulasi untuk membiayai kredit jasa air traffic carrier tersebut.
LAMPIRAN CONTOH :
LAMPIRAN CONTOH :

DAFTAR PUSTAKA
BUKU_BUKU :
       Mieke Komar Kontaatmadja.1989.Hukum Udara Dan Angkasa. Remaja Karya.Bandung.
       Suherman. 1978 . Hukum Udara Indonesia  dan Internasional. Alumni Bandung.
       Junaidi Indrawadi, 2006. Hukum Internasional. Proyek Sitem Penyusunan Program        Pedoman Dan Penerbangan. Jakarta.

BLOGER WEB’s :
      International Civil Aviation Organization (ICAO) Hari Selasa 1 November 2011 ; Jam 20.33 WIB.
      IlmuTerbang. Com  Hari Rabu 2 November 2011; 19.12 Wib.

PERUNDANG_UNDANGAN :
      Undang-undang NO 1 Tahun 2009. Tentang Penerbangan.
      Undang –undang No 15 tahun 1992 tentang penerbangan.
      Peraturan pemerintah No 3 tahun 2001.

HUKUM INTERNASIONAL, HUKUM UDARA DAN HUKUM ANGKASA

Hukum udara dan angkasa luar (antariksa) merupakan salah satu cabang hukum internasional yang relative baru karena mulai berkembang pada permulaan abad ke 20 setelah munculnya pesawat udara. Setiap negara pada dasarnya memiliki kedaulatan penuh dan ekskusif atas wilayah udara di atas teritorialnya. Hal ini merupakan salah satu prinsip yang diatur dalam Konvensi Chicago 1944. Ketentuan tersebut mengindikasikan bahwa setiap negara berhak untuk membuat aturan sendiri demi kepentingan nasional. Namun, ketentuan nasional itu harus diberlakukan tanpa perbedaan kepada setiap negara. 

Hukum penerbangan baru timbul ketika manusia mulai mengarungi udara dan erat berhubungan dengan kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam lapangan teknik penerbangan, terutama dalam beberapa tahun sebelum dan sesudah perang dunia II. Hukum udara dan hukum angkasa merupakan lapangan hukum yang tersendiri, karena hukum udara ini mengatur suatu obyek yang mempunyai sifat yang khusus. Hukum udara internasional mengenal beberapa teori delimitasi ruang udara dan ruang angkasa. Antara lain Schater Air Space Theory diperkenalkan oleh Oscar Scahater. Jenks Free Space Theory (teori ruang angkasa bebas) diperkenalkan oleh C Wilfred Jenks, Haley’s International Unanimity Theory (teori persetujuan internasional) diperkenalkan oleh Andrew G. Haley dan Cooper’s Control Theory (teori pengawasan) diperkenalkan oleh John Cobb Cooper.

Banyaknya para ahli memberikan argumentasi keilmuan tentang delimitasi ruang udara dan ruang angksa. Mereka memberikan warna tersendiri dan pemahaman yang mendalam serta teliti. Pendapat mereka dijadikan sebagai doktrina (pendapat para ahli hukum) sebagaimana tertera dalam pasal 38 Statuta Mahkamah Pengadilan Internasional. Dan dijadikan sebagai sumber hukum formil bagi para hakim dalam memutus sebuah perkara hukum.



KONSEP RUANG UDARA DAN ANGKASA

Hukum udara dan angkasa luar (antariksa) merupakan salah satu cabang hukum internasional yang relative baru karena mulai berkembang pada permulaan abad ke 20 setelah munculnya pesawat udara.
Mengenai kelautan Negara di udara di atas wilayahnya, Gerhard Von Glahn mengemukakan sejumlah teori yaitu :
  1. Berlakunya kebebasan penuh di ruang udara seperti di laut lepas.
  2. Yurisdiksi teritorial di ruang udara sampai 1000 kaki diatas bumi dengan status udara yang diatasnya yang bebas seperti di laut lepas.
  3. Seluruh ruang udara di atas Negara tanpa adanya batas ketinggian dianggap sebagai udara nasional dengan memberikan hak lintas kepada semua pesawat udara yang terdaftar di Negara-negara sahabat.
  4. Kedaulatan mutlak dan tanpa batas atas ruang udara nasional tanpa batas ketinggian.

1. HUKUM UDARA

A. PENGERTIAN HUKUM UDARA

Hukum udara adalah seluruh norma-norma hukum yang khusus mengenai penerbangan , pesawat-pesawat terbang dan ruang udara dalam peranannya sebagai unsur yang perlu bagi penerbangan (otto riese dan jean T. Lacour).

Hukum udara dapat ditafsirkan sebagai segala peraturan hukum yang mengatur obyek tertentu, yaitu udara. Dengan tafsiran ini maka pengertian hukum udara akan menjadi sangat luas, karena akan meliputi hukum public nasional dan internasional mengenai udara.

B. KONVENSI-KONVENSI HUKUM UDARA

1. Konvensi Paris 13 Oktober 1919
.

Pada tanggal 13 oktober 1919, di paris ditandatangani konvensi internasional mengenai navigasi udara yang telah disiapkan oleh suatu komosi khusus yang dibentuk oleh dewan tertinggi Negara-negara sekutu. Konvensi paris tersebut merupakan upaya pertama pengaturan internasional secara umum mengenai penerbangan udara. Disamping itu Negara-negara pihak juga diizinkan membuat kesepakatan-kesepakatan bilateral diantara mereka dengan syarat mematuhi prinsip-prinsip yang dimuat dalam konvensi. 

Terhadap Negara-negara bekas musuh, pasal 42 konvensi paris memberikan persyaratan bahwa Negara-negara tersebut hanya dapat menjadi Negara pihak setelah masuk menjadi anggota pada Liga Bangsa-Bangsa (LBB) atau paling tidak atas keputusan dari ¾ Negara-negara pihak pada konvensi. Pada tahun 1929, setelah direvesi dengan protocol 15 juni 1929 yang bertujuan untuk menerima keanggotaan jerman dalam LBB, konvensi paris 1919 betul-betul menjadi konvensi yang bersifat umum karena sejak mulai berlakunya protocol tersebut tahun 1933,53 negara telah menjadi pihak.

Perubahan tersebut dilakukan oleh komisi Internasional Navigasi Udara dalam sidangnya di paris tanggal 10-15 juni 1929. Rezim baru tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut :
  1. Negara-negara bukan pihak pada konvensi 1919 dapat diterima tanpa syarat apakah Negara-negara tersebut ikut serta atau tidak dalam perang dunia 1.
  2. Tiap-tiap Negara selanjutnya dapat membuat kesepakatan-kesepakatan khusus dengan Negara-negara yang bukan merupakan pihak pada konvensi dengan syarat bahwa kesepakatan-kesepakatan tersebut tidak bertentangan dengan hak-hak pihak-pihak lainnya dan juga tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip umum konvensi.
  3. Protocol 1929 meletakkana prinsip kesama yang absolute bagi semua Negara dalam komisi internasional. Masing-masing Negara pihak tidak boleh lebih dari dua wakil dalam komisi dan hanya memiliki satu suara.
  •  Konvensi Chicago 1944.
Konferensi Chicago membahas 3 konsep yang saling berbeda yaitu:
  1. Konsep internasionalisasi yang disarankan australi dan selandia baru.
  2. Konsep amerika yang bebas untuk semua. Konsep persaingan bebas atau free enterprise.
  3. Konsep intermedier inggris yang menyangkut pengaturan dan pengawasan.
Setelah melalui pendebatan yang cukup panjang dan menarik akhirnya konsep inggris diterima oleh konferensi. Pada akhir konverensi sidang menerima tiga insrtumen yaitu :
  •  Konvensi mengenai penerbangan sipil internasional
  •  Persetujuan mengenai transit jasa-jasa udara internasional
  •  Persetujuan mengenai alat angkutan udara internasional.

Konvensi Chicago 7 desember 1944 mulai berlaku tanggal 7 april 1947. Uni soviet baru menjadi Negara pihak pada tahun 1967. Konvensi ini membatalkan konvensi paris 1919, demikian juga konvensi inter amerika Havana 1928. Seperti konvensi paris 1919, konvensi Chicago mengakui validitas kesepakatan bilateral yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada. Sekarang ini jumlah kesepakatan-kesepakatan tersebut sudah melebihi angka 2000.

C. STATUS YURIDIK RUANG UDARA

1) Wilayah Udara Nasional

Pasal 1 konvensi paris 1919 secara tegas menyatakan : Negara-negara pihak mengakui bahwa tiap-tiap Negara mempunyai kedaulatan penuh dan eksklusif atas ruang udara ang terdapat di atas wilayah. Konvensi Chicago 1944 mengambil secara integral prinsip yang terdapat dalam konvensi paris 1919. Kedua konvensi tersebut dengan sengaja menjelaskan bahwa wilayah Negara juga terdiri dari laut wilayahnya yang berdekatan. 

Hal ini juga dinyatakan oleh pasal 2 konvensi jenewa mengenai laut wilayah dan oleh pasal 2 ayat 2 konvensi PBB tentang hukum laut 1982. Ketentuan-ketentuan yang berlaku terhadap navigasi udara, termasuk udara diatas laut wilayah, sama sekali berbeda dengan ketentuan-ketentuan yang mengatur pelayaran maritime. Terutama tidak ada norma-norma hukum kebiasaan yang memperolehkan secara bebas lintas terbang diatas wilayah Negara,yang dapat disamakan dengan prinsip hak lintas damai di perairan nasional suatu Negara.

Masalah pengawasan dan keamanan lalu lintas udara dan pengamatan atas pesawat-pesawat udara merupakan aspek sangat penting dalam pengaturan-pengaturan hukum yang dibuat oleh Negara-negara. Demikianlah untuk memperkuat ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam konvensi, Negara-negara sering membuat kesepakatan-kesepakatan bilateral atau regional di bidang kerja sama pengawasan ataupun keamanan.

2) Ruang Udara Internasional

Kedaulatan teritorial suatu Negara berhenti pada batas-batas luar dari laut wilayahnya. Kedaulatan ini tidak berlaku terhadap ruang udara yang terdapat diatas laut lepas atau zona-zona dimana Negara-negara pantai hanya mempunyai hak-hak berdaulat seperti atas landas kontinen. Atas alasan keamanan, status kebebasan yang berlaku dilaut lepas tidak pula mungkin bersifat absolute. Pasal 12 konvensi Chicago dengan alasan keamanan tersebut menyatakan bahwa diatas laut lepas ketentuan yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh ICAO sehubungan dengan penerbangan dan maneuver pesawat-pesawat yang terdapat dalam annex dari konvensi.

Namun internasionalisasi dinilai kurang lengkap. Pertama karena kekuasaan pengaturan oleh ICAO terbatas pada penerbangan sipil dan tidak berlaku terhadap pesawat-pesawat udara public walaupun majelis dari ICAO talah menyarankan kepada Negara-negara pihak untuk memasukkan dalam legislasi nasionalnya masing-masing ketentuan-ketentuan yang juga diberlakukan kepada pesawat-pesawat public yaitu ketentuan-ketentuan udara seperti yang terdapat dalam annek II dari konvensi. ICAO tidak mempunyai wewenang pelaksanaan, kepada masing-masing pihaklah diberikan wewenang untuk mengambil tindakan agar pesawat udara yang mempunyai kebangsaan dari Negara tersebut yang berada diatas laut lepas atau zona eksklusif menyesuaikan diri dengan ketentuan-ketentuan dan peraturan-peraturan yang berlaku (pasal 12 konvensi).



D. PEMBENTUKAN ORGANISASI PENERBANGAN SIPIL INTERNASIONAL (ICAO).

Fungsi ICAO adalah untuk mengembangbangkan prinsip-prinsip dan teknik navigasi internasional dan memperkuat perencanaan dan pengembangan alat angkutan udara internasional sehingga dapat melaksanakan perkembangan penerbangan sipil internasional secara teratur dan aman.

Walaupun terdapat interprestasi yang ekstensif atas wewenang yuridiksional dewan dari ICAO, Negara lebih suka menyelesaikan sengketa-sengketa bilaretal mereka melalui cara penyelesaian sengketa yang biasa seperti ke Mahkamah Internasional atau membentuk suatu tribunal arbitral.
Selama perang dingin banyak Negara yang mengajukan pengaduannya ke mahkamah internasional yang menyangkut keamanan penerbangan sipil. Sebagai contoh insiden udara yang terjadi antara iran dan amerika serikat pada tanggal 3 juli 1988.

E. SUMBER-SUMBER HUKUM PENERBANGAN DI INDONESIA

  1. Undang-undang dan peraturan-peraturan penerbangan yang nasional dalam arti dibuat oleh pembuat undang-undang nasional.
  2. Perjanjian-perjanjian internasional sebagai sumber hukum udara dan hukum penerbangan tidak dapat kita abaikan juga di Indonesia. Misalnya ordonansi pengangkutan udara yang sebagaimana dikatakan diatas merupakan salah satu peraturan penerbangan yang terpenting adalah berdasarkan,kalau kita hendak dikatakanhampir merupakan turunan semata-mata dari pada perjanjian warsawa yaitu perjanjian yang lebih dikenal dengan nama warsa convenstion.
  3. Sebagai sumber hukum penerbangan ketiga di Indonesia persetujuan-persetujuan pengangkutan. Sebagai suatu organisasi internasional, dalam man tergabung sebagian besar dari pada pengangkutan-pengangkutan udara seluruh dunia ang besar-besar, maka IATA (international Air Transport Association) mempunyai kekuasaan yang tidak sedikit terhadap anggota-anggotanya.
  4. Sumber hukum terakhir ialah ilmu pengetahuan. Telah menjadi suatu pendapat yang umum dalam dunia ilmu hukum, bahwa ilmu pengetahuan merupakan suatu sumber hukum.

2. HUKUM ANGKASA

A. Sejarah Perkembangan

Bila status yuridik laut lepas merupakan bagian dari ketentuan-ketentuan hukum internasional yang paling tua, maka sebaliknya statusnya yuridik angkasa luar merupakan karya yang paling baru karena hanya berkembang semenjak permulaan tahun 1960 an. Hukum angkasa ini bersifat orisinil bila ditinjau dari kondisi bagaimana lahirnya, dan dari beberapa aspek, hukum angkasa ini juga bersifat klasik kalau dilihat dari karakteristik pokok rejim yuridiknya seperti halnya dengan rezim laut lepas. Pembentukan hukum angkasa luar ini ditandai oleh kecepatan dan kelancaran relative dimana masyarakat internasional dengan segala telah dapat merumuskan kesepakatan-kesepakatan atas sekumpulan prinsip-prinsip dasar segara sesudah peluncuran satelit pertama sputnik oleh uni soviet pada bulan oktober 1957 dan kemudian disusul oleh peluncuran manusia pertama ke angkasa luar, yuri Gagarin, juga dari uni soviet pada tahun 1961.

Kegiatan Negara-negara dibidang eksplorasi dan peman.faatan angkasa luar dengan peluncuran ke angkasa luar berbagai satelit dengan cepat tela menjadi beraneka ragam seperti pengawasan wilayah-wilayah yang dilintasi, pencarian sumber-sumber alam darat dan laut, siaran radio dan televise langsung, hubungan telepon, penentuan posisi kapal-kapal, meteorology, observasi astronom dan berbagai eksperimen lainnya.


B. Resolusi-Resolusi Majelis Umum

Hukum angkasa luar ini berbeda dari cabang-cabang hukum internasional lainnya mempunyai ciri-ciri khusus yaitu sifat hukumnya yang asli, menyangkut kepentingan yang bersifat universal dan peranan penting yang diamainkan oleh Negara-negara adi daya uni soviet dan amerika serikat. Ciri-ciri khas ini terutama peranan kedua Negara adi daya tersebut telah menyebabkan prosedur pembuatan hukum antariksa cukup unik yang dimulai dengan perundingan-perundingan bilateral antara kedua Negara diatas yang dilanjutkan dengan pembahasan-pembahasan di majelis umum PBB. Majelis umum merumuskan prinsip-prinsip umum yang dimuat oleh resolusi-resolusi dan perjanjian-perjanjian yang bersifat universal.

Pada permulaan awal November 1963, majelis umum menerima sesuatu resolusi mengenai pelucutan senjata (res.1149-Xll) yang berisikan kepeduliannya atas bahaya penggunaan angkasa luar untuk tujuan militer. Kemudian dalam semangat yang sama, majelis umum pada tanggal 17 oktober 1973 menerima resolusi yang meminta Negara-negara anggota untuk tidak menempatkan di orbit benda-benda yang membawa senjata nuklir atau senjata pemusnah missal lainnya.
Pada tahun 1961 di tahun peluncuran yuri Gagarin dengan pesawat ruang angkasanya, majelis umum pada tanggal 20 desember 1961 menerima resolusi pertamanya bersifat substantive yang mencanangkan prinsip kebebasan ruang angkasa. Dua tahun kemudian pada tahun 1963, majelis umum menerima deklarasi prinsip-prinsip yuridik yang mengatur kegiatan-kegiatan Negara di bidang eksplorasi dan penggunaan angkasa luar . deklarasi yang juga diterima oleh amerika serikat dan uni soviet tersebut talah memungkinkan masyarakat internasional untuk merumuskan suatu perjanjian internasional umum mengenai ruang angkasa. Berkat perundingan-perundingan yang berhasil dengan baik antara uni soviet dan amerika serikat dan hasil-hasil karya dari komite penggunaan secara damai angkasa luar, akhirnya majelis umum pada tanggal 19 desember 1966 menerima perjanjian internasional mengenai prinsip-prinsip yang mengatur kegiatan-kegiatan Negara dibidang eksplorasi dan penggunaan angkasa luar termasuk bulan dan benda-benda angkasa alamiah lainnya. Perjanjian ini dapat dianggap sebagai dokumen hukum induk bagi kegiatan-kegiatan di ruang angkasa luar.

Perjanjian ini secara serentak dibuka untuk penandatanganan di London, moskow dan Washington tanggal 27 januari 1967 dan dengan cepat mulai berlaku tanggal 10 oktober tahun yang sama. Sesuai dengan namanya dan atas keinginan uni soviet dokumen hukum tersebut hanya semacam kerangka yang menyebutkan prinsip-prinsip umum yang selanjutnya harus diperjelas, dirinci dan dilaksanakan.

Perjanjian-perjanjian Internasional Yang Diterima Majelis Umum
Sebagai kelanjutan deklarasi 1963 dan perjanjian internasional 1967, majelis umum menerima 4 perjanjian tambahan yang melengkapi dari mengembangkan dokumen-dokumen yang telah ada yaitu:
  1. Persetujuan mengenai penyelamatan astronot, pengembalian astronot dan resitusi benda-benda yang diluncurkan keruang angkasa tanggal 22 april 1968, Res. No.2345 (XXII).
  2. Konvensi mengenai tanggung jawab internasional untuk kerugian yang disebabkan benda-benda spasil tanggal 29 maret 1972, Res. 2223 (XXIX) 19 desember 1966.
  3. Konvensi mengenai imatrikulasi benda-benda yang duiluncurkan ke angkasa luar tanggal 14 januari 1975, Res. 3235 (XXIX).
  4. Persetujuan yang mengatur kegiatan-kegiatan Negara di bulan dan benda-benda ruang angkasa lain, tanggal 18 desember 1979, Res 34/68.

Komite Penggunaan Secara Damai Ruang Angkasa Luar Pada tahun 1958 segera setelah peluncuran satelit buatan pertama, majelis umum PBB memutuskan untuk mendirikan suatu AD Hoc Commite On the Peacefull Usus of the outer Space untuk membahas :
  • Kegiatan-kegiatan dan sumber-sumber PBB, badan-badan khusus dan badan-badan internasional lainnya mengenai penggunaan secara damai ruang angkasa luar.
  • Kerjasama internasional dan program-program di bidang yang kiranya dapat dilakukan dibawah naungan PBB.
  • Pengaturan-pengaturan organisasi untuk mempermudah kerjasama internasional dalam rangka PBB.
  • Masal-masal hukum yang dapat muncul dalam kegiatan eksplorasi ruang angkasaAda Juga Beberapa Teori Yang Dilahirkan Dari Organisasi Internasional, Perjanjian Internasional, Cara Bekerja Sebuah Pesawat Angkasa, Cara Bekerja Transmisi Gelombang Radio, Teori Orbit Satelit. Antara lain:
  1. Teori ICAO (International Civil Aviation Organization). Teori ini berdasarkan pada bunyi konvensi Chicago tahun 1944 dengan segenap annex-nya yang menggunakan batas berlakunya ketentuan hukum udara internasional. Dimulai batas maksimum yang dapat dipakai oleh pesawat udara (aircraft) dengan mendefinisikan pesawat udara sebagai”. Setiap alat yang mendapat gaya angkat aerodinamis di atmosfir karena reaksi udara (any machine can derive support in the atmosphere from the reaction of the air). Konvensi ini tidak menyebutkan secara jelas dan pasti batas ketinggian kedaulatan suatu negara atas ruang udaranya. Dapat dikatakan bahwa ruang angkasa dimulai pada saat tidak ada reaksi udara menurut teknologi penerbangan berkisar 25 mil sampai 30 mil dari permukaan bumi atau sekitar 60.000 kaki.
  2. Teori Transmisi Radio. Teori ini didasarkan pada sifat gelombang yang memancar melalui perantaraan konduktor atmosfir udara dapat ditentukan bahwa batas ruang angkasa dimulai dari batas maksimum udara dimana gelombang radio tidak dapat menembus batas tersebut melainkan kembali memantul ke bumi ketinggian berdasarkan teori berkisar 150 mil sampai 300 mil dari permukaan bumi.
  3. Teori Outer Space Treaty 1967. Teori ini memberi batas antara ruang udara dan ruang angkasa berdasarkan teori titik terendah orbit suatu satelit atau suatu space objects. Pembatasan teori outer space treaty bersifat tidak pasti. Hal ini bergantung pada karakteristik suatu satelit buatan dan kepadatan atmosfir di suatu orbit pada waktu tertentu. Menurut teori ini, ruang angkasa dimulai pada ketinggian 80 Km diatas permukaan bumi yang merupakan batas ketinggian minimum (lower limit) dari suatu orbit satelit.
  4. Teori GSO (Geo Stationary Orbit).Teori ini dipakai oleh negara-negara “kolong” dimana negaranya dilalui garis khatulistiwa termasuk Indonesia untuk memperjuangkan klaim hak-hak berdaulat, mengeksplorasi dan mengeksploitasi kekayaan alam di ruang angkasa yang berbentuk cincin ketinggian berkisar 36.000 km dari permukaan bumi. Teori ini lahir dari kegigihan perjuangan negara-negara equator (khatulistiwa) untuk memperoleh preferential rights atas GSO (Ida Bagus Rahmadi Supancana, E Saefullah Wiradipradja, Mieke Komar Kantaatmadja, 1988). Ide ini diusulkan pada sidang ke-22 sub komite hukum UNCOPOUS (United Nations Committee of Peacefull of Outer Space) untuk memperkuat argumentasi yuridis atas kekayaan alam ruang angkasa bagi negara-negara khatulistiwa.
  5. Teori Pesawat Lockheed U-2 Milik Amerika Serikat dengan kemampuan terbang berkisar 78. 000 kaki. Pesawat LU-2 jenis pengintai ini ditembak jatuh oleh USSR. Sehingga menimbulkan perang argumentasi antara Uni Soviet dan Amerika Serikat. Pihak Uni Soviet memprotes Amerika karena pesawat udaranya telah memasuki wilayah udara Uni Soviet. Sebaliknya, Amerika berdalih bahwa pesawatnya terbang pada ketinnggian yang dikategorikan sebagai wilayah ruang angkasa yang bebas dari klaim kedaulatan dari negara manapun. Pihak USSR berpegang pada Air Code Soviet yang berbunyi “The Complete and exclusive sovereignity over the airspace of USSR shall be long to the USSR.Air space of USSR shall be deemed to be the air space above the land and water territory of the USSR including the space above territorial waters as determined by laws of USSR and by international treaties”
  6. Teori Space Shuttle atau teori Orbiter. Untuk,memperkuat argumentasi yuridis masalah status hukum pesawat ulang-alik yang banyak menimbulkan silang pendapat di kalangan ilmuan hukum udara. Beberapa ilmuan hukum udara masih belum bisa menarik kesimpulan tentang penundukan hukum atas pesawat ulang alik. Di satu sisi tunduk pada hukum ruang angkasa dan di sisi lain tunduk pada hukum udara internasional. Karena sifat-sifat kendaraan tersebut selalu berubah-ubah, kadang sifatnya sebagai pesawat angkasa dan juga sebagai pesawat udara biasa (K Martono, 1987). Untuk memperkuat argumen yuridis berkenaan dengan batas delimitasi ruang udara dan ruang angkasa dapat dilihat dari proses kerja pesawat ulang alik pada saat menjalankan misinya. Meluncur ke ruang angkasa melalui tiga tahapan yakni tahap ascend/launching (peluncuran), tahap orbital (penempatan ke orbit), dan tahap descend (pulang turun kembali ke bumi memasuki atmosfir). Turunya pesawat dengan gaya aerodinamis menggunakan reaksi udara mirip pesawat udara komersial biasa. Dari proses kerja pesawat ini dapat diambil teori penentuan delimitasi ruang udara dan ruang angkasa. Teori tersebut adalah batas ruang udara berlaku pada saat tangki luar bahan bakar pecah dan terbakar disusul dua roket pendorong lepas pada ketinggian 50 mil dari permukaan bumi.

A. Kesimpulan
Masalah penetapan garis batas antara ruang udara dan ruang angkasa. Adalah suatu kenyataan bahwa Negara-negara di dunia ini mengakui perlu adanya penegasan mengenai perbatasan antara ruang udara yang berada dalam kedaulatan penuh suatu Negara dan ruang angkasa yang bebas dan hanya digunakan untuk kepentingan kemanusiaan dan perdamaian. Status hukum pesawat angkasa bolak-balik ini telah mulai dipersoalkan sejak tahun 1974, pada saat pembuatan konvensi tentang registrasi benda-benda yang diluncurkan ke ruang angkasa(registration convention 1974).

Para ahli hukum pada umumnya berpendpat bahwa “space shuttle” mempunyai status hukum pesawat angkasa, bukan sebagai pesawat udara, karenanya tunduk pada ketentuan-ketentuan hukum angkasa dan tidak pada konvensi Chicago 1944 serta peraturan-peraturan hukum udara lainnya. Teori ini lahir untuk memperkuat argumentasi klaim batas kedaulatan sebuah negara atas ruang udara sesuai dengan prinsip-prinsip hukum udara internasional. Namun teori ini juga dapat diterapkan untuk mengetahui batas ketinggian jelajah pesawat udara komersial. Sehingga apabila terjadi kecelakaan pesawat udara. dapat dipakai sebagai dasar argumentasi

B. Saran
Dari pernyataan diatas maka harus ada penegasan pembatasan antara pesawat udara dan pesawat angkasa agar tidak terjadi kesalahan pahaman dan perselisihan atas batas-batasnya. Oleh karena itu dibuatlah hukum-hukum mengenai keduanya itu dan musyawarahkan antar negara yang ada di seluruh dunia gar terjalin perdamaian abadi dan kedaulatan itu jelas terutama kedaulatan negara suatu pesawat udara.


REFARENSI :

Mieke komar kontaatmadja.1989.Hukum Udara dan Angkasa. Remaja Karya.Bandung.
Suherman.1978. Hukum Udara Indonesia dan Internasional.Alumni.Bandung.