KUNJUNGILAH !!!!

TERIMA KASIH Telah Mengunjungi Blog Ini


Kamis, 06 Maret 2014

A.    RUANG LINGKUP HAK-HAK KONSTITUSIONAL ANAK TERLANTAR DI INDONESIA
Faktor yang menjadi penyebab  mengapa anak menjadi anak terlantar, antara lain :[1]
1.   Faktor keluarga                               
Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya (UU no 10 tahun 1992). dimana keluarga ini merupakan faktor yang paling penting yang sangat berperan dalam pola dasar anak. kelalaian orang tua terhadap anak sehingga anak merasa ditelantarkan. anak-anak sebetulnyahanya membutuhkan perlindungan, tetapi juga perlindungan orang tuanya untuk tumbuh berkembang secara wajar.
2.   Faktor pendidikan
Di lingkungan masyarakat miskin pendidikan cenderung diterlantarkan karena krisis kepercayaan pendidikan dan juga ketidakadaan biaya untuk mendapatkan pendidikan.
3.   Faktor sosial, politik dan ekonomi
Akibat situasi krisis ekonomi yang tak kunjung usai, pemerintah mau tidak mau memang harus  menyisihkan anggaran untuk membayar utang dan memperbaiki kinerja perekonomian jauh lebih banyak daripada anggaran yang disediakan untuk fasilitas kesehatan, pendidikan, dan perlindungan sosial anak.
4.   Kelahiran diluar nikah
Seorang anak yang kelahirannya tidak dikehendaki pada umumnya sangat rawan untuk ditelantarkan dan bahkan diperlakukan salah (child abuse). pada tingkat yang ekstremperilaku penelantaran anak bisa berupa tindakan pembuangan anak untuk menutupi aib atau karena ketidak sanggupan orang tua untuk melahirkan dan memelihara anaknya secara wajar.
Masalah paling mendasar yang dialami oleh anak terlantar adalah kecilnya kemungkinan untuk mendapatkan kesempatan dibidang pendidikan yang layak. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor yaitu : 
1.    Ketiadaan biaya; sebagian besar anak terlantar berasal dari keluarga dengan strata ekonomi yang sangat rendah, sehingga biaya pendidikan yang seharusnya disediakan oleh keluarga tidak tersedia sama sekali .
2.    Keterbatasan waktu; untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, sebagian besar anak terlantar bekerja secara serabutan untuk mendapatkan penghasilan, bahkan ada juga yang berusaha untuk mendapatkan penghasilan dari cara-cara yang kurang pantas seperti mengemis, mencuri, mencopet dan lain- lain. Sehingga waktu mereka sehari-hari banyak tersita di tempat pekerjaan, jalanan, tempat-tempat kumuh dan lain-lain. 
3.    Rendahnya kemauan untuk belajar; kondisi ini disebabkan oleh keadaan lingkungan di sekitarnya (teman-teman) yang didominasi oleh anak-anak yang tidak bersekolah (putus sekolah), sehingga menyebabkan adanya perspektif dalam diri anak terlantar bahwa tidak mendapatkan pendidikan yang formal bukanlah suatu hal yang perlu dicemaskan.
4.    Apatisme terhadap pendidikan, kemampuan mereka untuk menghasilkan uang dalam waktu yang singkat menyebabkan mereka aptis terhadap pendidikan. Sangat disayangkan sebenarnya, karena tidak selamanya mereka harus ada dijalan untuk mengais rejeki, dan pada saat nanti mereka memutuskan untuk keluar dari lingkungan anak jalanan maka modal pendidikan sangat diperlukan.
5.    Tidak berjalannya fungsi control oleh keluarga, masyarakat dan pemerintah; kondisi ini disebabkan karena masing-masing disibukkan dengan aktifitasnya masing-masing.
Berdasarkan kondisi anak terlantar yang telah dipaparkan di atas, maka permasalahan yang dialami oleh anak terlantar dapat dirumuskan sebagai berikut :
a.    Anak terlantar turun ke jalan karena adanya desakan ekonomi keluarga sehingga justru orang tua menyuruh anaknya untuk turun ke jalan guna mencari tambahan untuk keluarga. Hal ini terjadi karena tidak berfungsinya keluarga dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Juga disebabkan karena fokus keuangan keluarga terbatas hanya pemenuhan kebutuhan sehari-hari, bukan untuk pendidikan.
b.    Rendahnya pendidikan orang tua anak terlantar sehingga mereka tidak mengetahui fungsi dan peran sebagai orang tua dan juga ketidaktahuannya mengenai hak-hak anak.
c.    Belum adanya payung kebijakan mengenai anak yang turun ke jalan baik kebijakan dari kepolisian, Pemda, maupun Departemen Sosial.
d.    Belum optimalnya social control di dalam masyarakat.
e.    Belum berperannya lembaga-lembaga organisasi sosial, serta belum adanya penanganan yang secara multi sistem base.
f.      Lingkungan sosial tempat anak terlantar tinggal tidak mendukung mereka dari sisi mental psikologis untuk masuk ke sekolah formal Kurangnya apresiasi masyarakat terhadap potensi dan kreatifitas dari anak terlantar.
Anak  adalah asset masa depan bangsa. Anak seharusnya dibimbing, diarahkan, dijaga, dirawat, dan dididik secara baik.  Adapun ruang lingkup hak-hak anak Indonesia yang disediakan oleh negara dan diatur Undang-Undang Dasar 1945 antara lainnya ialah:[2]
1.         Berhak untuk dapat hidup, tumbuh dan berkembang dan berpartisipasi secara optimal atau wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapatkan perlindungan yang layak dari kekerasan dan diskriminasi;
2.         Berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan;
3.         Berhak untuk ibadah  menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasannya dan usianya, dalam bimbingan orang tua;
4.         Dalam sebab karena sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak untuk mendapatkan hak asuh dari orang lain dan atau ditanggung oleh negara, sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku;
5.         Berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial;
6.         Berhak mendapatkan atau memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya;
7.         Khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus;
8.         Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan  dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusialaan dan panutan;
9.         Setiap anak penyandang cacat berhak untuk mendapatkan rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial;
10.     Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak sebaya, bermain, berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkatan kecerdasannya demi perkembangan diri;
11.     Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan;
a)                  Diskriminasi;
b)                 Eksploitasi, baik secara ekonomi maupun seksual;
c)                  Penelantaran;
d)                 Kekejaman, kekerasan, da penganiayaan;
e)                  Ketidak adilan; dan
f)                  Perlakuan salah lainnya.
12.     Setiap  anak  berhak untuk memperoleh perlindungan  dari;
a.                  Penyalahgunaan dalam kegiatan politik;
b.                  Pelibatan dalam sengketa bersenjata;
c.                  Pelibatan dalam kerusuhan sosial;
d.                 Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan
e.                  Pelibatan dalam peperangan.
13.     Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.   Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.  Penangkapan, penahanan, tindak pidana penjara anak hanya diberlakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat di berlakukan sebagai upaya yang terakhir.
14.     Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk;
a.         Medapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa;
b.        Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang  berlaku; dan
c.         Membela diri dan memperoleh keadilan didepan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum.
Indonesia merupakan salah satu negara yang meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak-hak Anak, melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 36/0 tanggal 25 Agustus 1990.Dengan diratifikasinya konvensi tesebut, berarti secara hukum, negara berkewajiban memenuhi hak-hak anak, baik sipil, politik, sosial, budaya, dan ekonomi. Akan tetapi, pada kenyatannya negara masih belum mampu memenuhi, Sampai sekarang sudah banyak produk hukum yang bisa dijadikan sebagai acuan dalam membahas tentang anak, khususnya perlindungan anak seperti: Pasal 34 dan Pasal tentang HAM di Pasal 28A UUD 1945, Undang-Undang  Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang  Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang  Nomor 20 tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention Nomor 138,  Undang-Undang  Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,  Undang-Undang  Nomor 1 tahun 2000 tentang Pengesahan ILO Convention Nomor 183, Undang-Undang  Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang  Nomor 23 tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Orang tua,  keluarga,  dan  optimal dan terarah [3] masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara Hak Asasi Manusia (HAM) tersebut sesuai dengan kewajiban yang dikehendaki oleh negara hukum. Demikian pula dalam rangka penyelenggaraan perlindungan negara terhadap anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara Upaya perlindungan negara terhadap anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun. Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh dan komprehensif, undang-undang perlindungan anak meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas yaitu :
1.         Asas  dan  prinsip Non diskriminasi;
Artinya semua hak yang diakui dan terkandung dalam KHA harus diberlakukan kepada setiap anak tanpa pembedaan apapun. Prinsip ini ada dalam pasal 2 ayat (1), ‘‘Negara-negara pihak menghormati dan menjamin hak-hak yang ditetapkan dalam konvensi ini bagi setiap anak yang berada diwilayah hukum mereka tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun, tanpa memandang ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik, atau pandangan-pandangan lain, asal-usul kebangsaan, etnik atau social, status kepemilikan, cacat atau tidak, kelahiran atau status lainnya baik dari si anak itu sendiri atau dari orang tua walinya yang sah.’’ Ayat (2) ‘‘Negara-negara pihak akan mengambil semua langkah yang perlu untuk menjamin agar anak dilindungi dari semua diskriminasi atau hukuman yang didasarkan pada status, kegiatan, pendapat yang dikemukakan atau keyakinan dari orang tua anak, walinya yang sah atau keluarganya.’’
2.    Asas dan prinsip  Kepentingan yang terbaik bagi anak (Best Interests Of The Child); 
Prinsip ini tercantum dalam pasal 3 ayat (1) KHA, ‘‘ dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan lembaga-lembaga kesejahteraan social pemerintah maupun swasta, lembaga peradilan, lembaga pemerintah atau badan legislative, maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama.’’
Prinsip ini mengingatkan kepada semua penyelenggaraan perlindungan anak bahwa pertimbangan-pertimbangan dalam pengambilan keputusan apa lagi berpusat kepada kepentingan orang dewasa. Apa yang menurut orang dewasa baik, belum tentu baik pula menurut ukuran kepentingan anak. Boleh jadi maksud dan tujuan orang dewasa memberikan bantuan dan menolong, akan tetapi yang sesungguhnya terjadi adalah penghancuran masa depan si anak.
3.    Asas  dan  prinsip  Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan (The Right To Life, Survival, And Development);
Prinsip ini tercantum dalam pasal 6 KHA ayat (1): ‘‘Negara-negara pihak mengakui bahwa setiap anak memiliki hak yang melekat atas kehidupan.’’ Ayat (2) ‘‘Negara-negara pihak akan menjamin sampai batas maksimal kelangsungan hidup dan perkembangan anak.’’
Pesan dari prinsip ini sangat jelas bahwa Negara harus memmastikan setiap anak akan terjamin kelangsungan hidupnya karena hak hidup adalah sesuatu yang melekat dalam dirinya, bukan pemberian dari negara atau orang perorangan. Untuk menjamin hak hidup tersebut berarti negara harus menyediakan lingkungan yang kondusif, sarana, dan prasarana hidup yang memadai, serta akses setiap anak untuk memperoleh kebutuhan-kebutuhan dasar.Berkaitan dengan prinsip ini, telah juga dijabarkan dalam pembatasan sebelumnya berkaitan dengan hak-hak anak.
4.    Asas  dan  prinsip  Penghargaan terhadap pendapat anak (Respect For The Views Of The Child);
Prinsip  ini  ada dalam pasal 12 ayat (1) KHA; ‘‘Negara-negara pihak akan menjamin anak-anak yang mempunyai pandangan sendiri memperoleh hak menyatakan pandangan-pandangan secara bebas dalam semua hal yang mempengaruhi anak, dan pandangan tersebut akan dihargai sesuai dengan tingkat usia dan kematangan.’’
Prinsip ini menegaskan bahwa anak memiliki otonomi kepribadian. Oleh karena itu, dia tidak bias hanya dipandang dalam posisi yang lemah, menerima, dan pasif, tetapi sesungguhnya dia pribadi otonom yang memiliki pengalaman, keinginan, imajinasi, obsesi, dan aspirasi yang belum tentu sama dengan orang dewasa.
Dapat ditarik satu simpul pengertian bahwa perspektif perlindungan anak adalah cara pandang terhadap semua persoalan dengan  menempatkan posisi anak sebagai yang pertama dan utama. Implementasinya cara pandang demikian adalah ketika kita selalu menempatkan urusan anak sebagai hal yang paling utama.[4]
                  Kepentingan terbaik bagi anak
Kelangsungan Hidup
dan Perkembangan
 







Nondiskriminasi                                                                               Partisipasi Anak
Gambar 3.1.Prinsip perlindungan anak[5]
Perlindungan anak merupakan suatu usaha yang mengadakan kondisi dimana setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya.Adapun perlindungan anak ini juga merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat.Dengan demikian perlindungan anak sedapat mungkin harus diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat.[6]
Salah satu indikatornya adalah keberadaan pengemis anak.Bukan hanya berkaitan dengan dilanggarnya hak-hak anak, tapi juga membawa dampak buruk bagi anak-anak, baik secara fisik maupun psikis.  Lebih jauh, dikhawatirkan akan mengganggu masa depan anak-anak untuk mendapat kehidupan yang lebih baik. bahwa sampai saat ini masih terdapat perbedaan atau ketidak seragaman terhadap batas usia seorang anak dalam berbagai peraturan perundang-undangan, sehingga menimbulkan hambatan dalam proses penegakan hukum.  Usaha untuk mencegah eksploitasi anak sebagaimana disebut di atas memang telah dilakukan pemerintah untuk mewujudkan peningkatan dan perlindungan kesejahteraan anak, namun kegiatan-kegiatan tersebut masih memerlukan perbaikan.Untuk itu perlu dilakukan penegakan terhadap aturan-aturan yang telah ada dengan mensosialisasikan.
Bahwa pentingnya perlindungan hak konstitusional anak. Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk itu antara lain peningkatan pemahaman dan kesadaran masyarakat akan hak-hak anak, memberikan pendidikan pada anak-anak akan hak mereka, peningkatan pemahaman dan kesadaran para pembuat peraturan perundang-undangan akan hak-hak anak, peningkatan pemahaman, profesionalisme dari para penegak hukum mengenai hak-hak anak dalam melayani dan melindungi serta meningkatkan peran lembaga-lembaga kemasyakatan yang ada untuk menegakkan dan memulihkan hak-hak anak.
Bellamy mengatakan, anak-anak yang bekerja di usia dini, yang biasanya berasal dari keluarga miskin, dengan pendidikan yang terabaikan, sesungguhnya akan melestarikan kemiskinan, karena anak yang bekerja tumbuh menjadi  seorang dewasa yang terjebak dalam pekerjaan yang tak terlatih, dan dengan upah yang sangat buruk.[7] Jadi membiarkan anak-anak bekerja sebagai pengganti sekolah dapat membuat “lingkaran setan” (vicious circle); awalnya, bekerja menimbulkan dampak buruk bagi sekolah, selanjutnya berpendidikan rendahatau tidak berpendidikan sama sekali dapat mengakibatkan berlanjutnya pekerja anak.[8]
Berdasarkan kualitas jaminan hak-hak konstitusionalnya, Undang-Undang Dasar hasil amandemen mengatur lebih jauh mengenai hak-hak konsitusional dan di dalam Undang-Undang dasar yang di amandemen tersebut banyak mengatur hak-hak konstitusional anak dan hak-hak yang tercantum dalam unsur UUD’45 ialah:
1.             Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam lingkungan keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang secara wajar.
2.             Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya dengan baik dan berguna.
3.             Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan.
4.              Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan secara wajar.
5.             Dalam keadaan yang membahayakan anaklah yang pertama kali berhak mendapatkan pertolongan, bantuan, dan perlindungan.[9]
Di dalam Undang-Undang Perlindungan anak, hak-hak anak diatur dalam ketentuan Pasal 4 sampai dengan Pasal 18. Perlu diketahui bahwa di dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, diberikan batasan tentang usia seseorang dikategorikan sebagai seorang anak apabila ia belum berusia 18 tahun termasuk anak yang dalam kandungan. Di antara hak-hak anak yang diatur dalam Undang-Undang  Perlindungan tersebut ádalah :
1.         Hak untuk hidup, tumbuh dan berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi;
2.         Hak atas sebuah nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan;
3.         Hak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya dalam bimbingan orang tua;
4.         Hak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri; apabila karena susuatu hal orang tuanya tidak bisa mengasuh sendiri, anak tersebut berhak diasuh dan diangkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
5.         Hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual dan social: hak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran;
6.         Hak untuk menyatakan dan di dengar pendapatnya, menerima, mencari dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya;
7.         Hak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu Luang, bergaul dengan anak sebaya, bermain, berekreasi dan berkreasi sesuai dengan minat dan bakatnya:
Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, wali, orang tua dan lembaga sosial menjamin perlindungan hak konstitusional anak dalam memeluk agamanya, meliputi pembinaan, pembimbingan, dan pengamalan ajaran agama bagi anak.
Negara atau Pemeritah berkewajiban menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan upaya kesehatan yang komprehensif bagi anak, agar setiap anak memperoleh derajat yang sama atau optimal sejak dalam kandungan. Upaya kesehatan yang komprehensif  tersebut,diselenggarakan secara Cuma-Cuma bagi keluarga yang tidak mampu .pelaksanaan ketentuan-ketentuan tersebut disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku.[10] Dalam aspek sosial, pemerintah wajib menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan anak terlantar, baik dalam lembaga maupun  diluar lembaga.   Negara berkewajiban untuk menyelenggarakan pendidikan dasar 9 (Sembilan) tahun untuk semua anak.
Negara, pemerintah, keluarga dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak terlantar untuk memperoleh pendidikan dan pendidikan pada anak yang di maksud tersebut  diarahkan kepada [11]:
1.         Pengembangan sikap dan kemampuan kepribadian anak, bakat, kemampuan metal, dan kemampuan fisik, sampai mencapai potensi yang optimal;
2.         Pengembangan penghormatan atas hak asasi manusia dan kebebasan asasi;
3.         Pengembangan rasa hormat terhadap orang tua, identitas budaya, bahasa dan nilai-nilainya sendiri, nilai-nilai nasional, dimana anak bertempat tinggal, dari mana anak berasal, dan peradaban-peradaban yang berbeda-beda dari peradaban sendiri;
4.         Persiapan anak untuk kehidupan yang bertanggung jawab; dan
5.         Pengembangan rasa hormat dan cinta terhadap lingkungan hidup.
Fenomena merebaknya anak jalanan atau anak terlantar  di Indonesia merupakan persoalan sosial yang kompleks.  Hidup menjadi anak jalanan atau anak terlantar memang bukan merupakan pilihan yang menyenangkan, karena mereka berada dalam kondisi yang tidak bermasa depan jelas, dan keberadaan mereka tidak jarang menjadi “masalah” bagi banyak pihak, keluarga, masyarakat dan negara. Namun, perhatian terhadap nasib anak jalanan tampaknya belum begitu besar dan solutif.  Mereka adalah amanah tuhan yang harus dilindungi, dijamin hak-haknya, sehingga tumbuh-kembang menjadi manusia dewasa yang bermanfaat, beradab dan bermasa depan cerah. Dalam UUD 1945, “anak terlantar itu dipelihara oleh negara”  bermakna pemerintah mempunyai tanggung jawab terhadap pemeliharaan dan pembinaan anak-anak terlantar, termasuk anak jalanan. Hak-hak asasi anak terlantar dan anak jalanan, pada hakekatnya sama dengan hak-hak asasi manusia pada umumnya. Mereka perlu mendapatkan hak-haknya secara normal sebagaimana layaknya anak, yaitu hak sipil dan kemerdekaan (civil rights and freedoms), lingkungan keluarga dan pilihan pemeliharaan (family envionment and alternative care), kesehatan dasar dan kesejahteraan (basic health and welfare), pendidikan, rekreasi dan budaya (education, laisure and culture activites), dan perlindungan khusus (special protection).Penanganan anak jalanan di seluruh wilayah kota besar di Indonesia belum mempunyai model dan pendekatan yang tepat dan efektif.  dinilai kurang efektif karena tidak menyentuh akar persoalan, yaitu kemiskinan dalam keluarga.[12]
Pembinaan dan pemberdayaan pada lingkungan keluarga belum banyak dilakukan, sehingga penanganannya selama ini cenderung tidak efektif.  Keluarga merupakan “pusat pendidikan, pembinaan dan pemberdayaan pertama” yang memungkinkan anak-anak itu tumbuh dan berkembang dengan baik,  sehat dan cerdas.  Pemberdayaan keluarga dari anak jalanan, terutama dari segi ekonomi, pendidikan dan agamanya, diasumsikan merupakan basis utama dan model yang efektif untuk penanganan dan pemberdayaan anak jalanan.[13]
Anak jalanan turun ke jalan karena adanya desakan ekonomi keluarga sehingga orang tua menyuruh anaknya untuk turun ke jalan guna mencari tambahan untuk keluarga.Hal ini terjadi karena ketidak berfungsian keluarga dalam memenuhi kebutuhan keluarga.Rumah tinggal yang kumuh membuat ketidak betahan  anak berada di rumah, sehingga perumahan kumuh menjadi salah satu  faktor pendorong untuk anak turun ke jalan.Rendahnya pendidikan orang tua anak jalanan sehingga mereka tidak mengetahui fungsi dan peran sebagai orang tua dan juga ketidaktahuannya mengenai hak-hak anak.Belum adanya payung kebijakan mengenai anak yang turun ke jalan baik kebijakan dari kepolisian, Pemda, maupun Departemen Sosial.
Anak jalanan menjadi dua kelompok, yaitu anak semi jalanan dan anak jalanan murni.  Anak semi jalanan diistilahkan untuk anak-anak yang hidup dan mencari penghidupan dijalanan, tetapi tetap mempunyai hubungan dengan keluarga. Sementara itu  anak jalanan murni diistilahkan untuk anak-anak yang hidup dan menjalani kehidupannya di jalanan tanpa punya hubungan dengan keluarganya.[14]
Anak jalanan dapat dikelompokan menjadi 3 kelompok berdasarkan hubungan dengan orang tuanya, yaitu :  Pertama, Anak yang putus hubungan dengan orang tuanya, tidak sekolah dan tinggal di jalanan ( anak yang hidup dijalanan / children the street  ).  Kedua, anak yang berhubungan tidak  teratur dengan orang tuanya, tidak sekolah, kembali ke orang tuanya seminggu sekali, dua minggu sekali, dua bulan atau tiga bulan sekali biasa disebut anak yang bekerja di jalanan ( Children on the street ). Ketiga, Anak yang masih sekolah atau sudah putus sekolah, kelompok ini masuk kategori anak yang rentan menjadi anak jalanan (vulnerable to be street children ).[15]



[1]
[2]  Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia, …Op Cit
[3]Penjelasan  Umum  Undang-Undang  Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan AnakLembaran Negara RI Tahun 2002 Nomor 109
[4]Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak Tawanan Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa  Pemidanaan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 41
[5]Ibid, hlm. 41
[6]Ibid, hlm. 6
[7]Carol Bellamy,   Laporan Situasi Anak-anak di Dunia,  UNICEF,   Jakarta,  1997,  hlm. 1
[8]Nachrowi Djalal Nachrowi dan Hardius Usman..Pekerja Anak di Indonesia; Kondisi Determinan dan Eksploitasi (Kajian Kuantitatif), PT Grasindo,  Jakarta, 2005,  Hlm. 2
[9]Eny  Kusdarini, Perlindungan-anak-sebagai perwujudan HAM dan generasi penerus bangsa, Jurnal  2005,  Hlm. 7
[10]Ahmad , kamil dan Fauzan,  Hukum  Perlindungan  Dan  Pengangkatan  Anak  Di Indonesia, Raja Wali Pers, 2010,   hlm. 77-78
[11]Ibid
[12]http://www. kompas.com, Penanganan- rumah- singgah- bagi- anak -terlantar -di -Indonesia, 26 Pebruari 2003, Terakhir di Akses Tanggal 11 Desember 2013
[13] http://t4rbiyah.blogspot.com/2008/01/permasalahan-anak-jalanan, Terakhir di Akses Tanggal 11 Desember 2013
[14]Asmawati. 2001,  Anak Jalanan Dan Upaya Penanganannya Di Kota Surabaya, Jurnal Hakiki Vol 1/No 2/Nov 1999. Hlm. 5
[15]Tata Sudrajat,  Isu Prioritas Dan Program Intervensi Untuk Menangani Anak. Jalanan, Jurnal Hakiki Vol 1/No 2/November 1999, hlm. 11