PERLINDUNGAN NEGARA
TERHADAP HAK KONSTITUSIONAL ANAK DI ROKAN HULU
A. Latar
Belakang Masalahan
Anak
adalah suatu potensi tumbuh kembang suatu Bangsa di masa depan, yang memiliki
sifat dan ciri khusus. Kekhususan ini terletak pada sikap dan perilakunya di
dalam memahami dunia, yang mesti dihadapinya. Oleh karenanya Anak patut diberi
perlindungan secara khusus oleh negara dengan Undang-Undang. Anak
adalah tunas pemangku estafet masa depan negara, bangsa maupun agama[1]. Oleh
karena itu, maka perhatian yang besar terhadap anak, berarti perhatian yang
besar pula pada negara, bangsa dan agama. Untuk
itu potensi anak perlu dikembangkan semaksimal mungkin serta dilindungi
dari berbagai tindak kekerasan dan diskriminasi agar hak-hak anak dapat
terjamin dan terpenuhi sehingga mereka dapat hidup , tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara optimal sesuai dengan kemampuannya.[2]
Krisis moneter
yang melanda hampir seluruh negara berkembang, khususnya Negara-negara ASEAN,
pada tahun 1997 secara tidak langsung diyakini telah membawa pengaruh terhadap
munculnya masalah-masalah sosial secara masal. Kekuatan krisis ekonomi itu
seakan telah mengguncang dan menggoyahkan kemapanan dari perekonomian
negara-negara yang terletak di wilayah Asia Tenggara, negara-negara yang selama
ini menjadi barometer kemajuan perekonomian negara-negara di ASEAN seperti
Thailand, Malaysia, dan Indonesia ternyata tidak terhindar dari krisis ini.
Di Indonesia krisis ekonomi
juga diperburuk dengan terjadinya krisis multi dimensional yang melanda negara
republik ini, krisis kepercayaan, krisis kepemimpinan, dan “krisis moral” telah
menjadi pelengkap permasalahan, yang seakan-akan menjadikan masalah bangsa ini
semakin kompleks[3].
Distribusi kekayaan dan kesejahteraan
masyarakat yang menjadi tidak menentu akibat krisis ekonomi telah mengakibatkan
peningkatan angka kemiskinan yang cukup signifikan, pendapatan perkapita yang
sebelumnya mencapai $1000 dolar AS turun menjadi $ 400 dolar AS, jumlah rakyat
yang berada di bawah garis kemiskinan pada tahun 1996 adalah sekitar 22 juta
orang maka setelah krisis ekonomi ini jumlahnya meningkat tajam hingga menjadi
50 juta orang.[4]
Dengan kondisi seperti ini, maka rakyat
merupakan subyek paling merasakan dampak dari krisis ini, sebenarnnya
mengharapkan kehadiran pemeritah yang muncul sebagai pahlawan untuk memberikan
solusi guna keluar dari keterpurukan, namun ternyata pemerintah pada saat itu
telah dianggap gagal untuk mengatasi permasalahan yang cukup menyengsarakan
perekonomian rakyat, khususnya rakyat kelas bawah ini. Kondisi ini semakin
menguatkan gerakan oposisi yang memang telah sering mengeluarkan stigma
mengenai perlunya reformasi nasional, maka sedikit demi sedikit pun
permasalahan ini berhasil menggoyang otoritas kepemimpinan orde baru yang
selama 32 tahun berkuasa itu.
Gerakan anti pemerintah pun
muncul dimana-mana, aksi demonstrasi baik yang dilakukan oleh kelompok masyarakat
ataupun gerakan mahasiswa yang menuntut turunnya rezim orde baru menjadi
pemandangan umum dalam sejarah perjalanan bangsa ini menjelang lahirnya orde
reformasi. Tindakan-tindakan anarkis yang mengakibatkan munculnya kerusuhan
terjadi di beberapa kota di Indonesia, penjarahan, perusakan fasilitas umum,
pembakaran terjadi dimana-mana, dan tidak hanya itu bahkan beberapa nyawa pun
harus rela “dikorbankan” guna kelahiran reformasi ini. Melihat kondisi yang
semakin tidak stabil ini, maka pada tanggal 21 Mei 2007 Presiden Soeharto
mengumumkan pengunduran dirinya sebagai Presiden RI dan ini adalah tonggak awal
era refomasi yang kelahirannya dianggap sebagai keharusan sejarah (historische
notwendigkeit) untuk Indonesia yang lebih baik, walaupun dalam perjalanannya
hal itu tetap masih menyisakan berbagai permasalahan.[5]
Dampak krisis yang diperberat oleh terjadinya
berbagai bencana yang telah menyebabkan banyak orang tua mengalami keterpurukan
ekonomi, tidak sedikit usaha yang dijalankan berakhir dengan pemutusan hubungan
kerja dan juga berakibat pada melambungnya harga barang kebutuhan sehingga
banyak para orang tua yang tidak dapat memenuhi kebutuhan pangan.Dampak dari
pemutusan hubungan kerja tersebut menimbulkan pengangguran,dan dari situlah
dapat ditinjau banyaknya anak-anak jalanan yang meminta-minta, yang bekerja dan
bahkan menjadi PSK (penjaja sek komersial).
Undang-undang nomor 39 tahun 1999
tentang hak asasi manusia telah dengan jelas mencantumkan tentang hak anak,
pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat,
pemerintah, dan Negara untuk memberikan perlindungan terhadap anak. Orang tua, keluarga, dan masyarakat
bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara hak asasi anak tersebut sesuai
dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum. Namun demikian juga dalam rangka
penyelenggaraan perlindungan anak di indonesia, Negara dan pemerintah
bertanggung jawab penuh untuk menyediakan fasilitas dan aksesibilasi bagi anak,
terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal dan
terarah.
Didalam undang-undang tentang perlindungan
anak juga menegaskan bahwa pertanggung jawaban orang tua, keluarga, masyarakat,
pemerintah, dan Negara merupakan sebuah rangkaian kegiatan yang dilaksanakan
secara terus-menerus demi terlindunginya hak-hak anak. Rangkaian tersebut harus
berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan pada anak,
baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial. Tindakan ini bertujuan untuk
mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa
yang berpotensial, tangguh, memiliki jiwa
nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan ilai pancasila, serta
berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa[i][6]
Di Indonesia, krisis ekonomi lebih
dari sekedar ketidak seimbangan dalam fundamental perekonomian. Setidaknya,
krisis ekonomi itu mengungkapkan kelemahan mendasar negara Indonesia.
Masyarakat modern yang serba kompleks yaitu sebagai konsekuensi dari
perkembangan zaman yang dipengaruhi oleh teknologi mekanisasi, industrialisasi,
dan urbanisasi yang ternyata membawa dampak yang bersifat kausalitas dalam
perkembangan di berbagai sektor kehidupan masyarakat, baik dari sektor ekonomi,
social, politik, bahkan mempengaruhi tatanan nilai budaya suatu bangsa.
Secara material, arus perkembangan dan
pertumbuhan tersebut berjalan dengan tanpa rintangan dan bahkan menjadi
kebanggaan suatu bangsa. Di satu sisi, memang perubahan-perubahan tersebut
telah membawa dampak kemajuan bagi kehidupan masyarakat suatu bangsa, namun di
sisi lain dari perubahan tersebut ternyata membawa dampak terjadinya
kesenjangan yang signifikan.
Di satu pihak, memang telah berdiri tegak
bangunan-bangunan mewah yang membanggakan yang menjadi pusat perhatian, tetapi
tidak jauh dari area tersebut ternyata tumbuh perkampungan kumuh yang
memprihatinkan dengan kompleksitas permasalahan yang di dalamnya perlu segera
mendapatkan perhatian khusus, yang sungguh hal ini adalah induk permasalahan
yang dapat menghadirkan permasalahan baru yang masuk dan menyebar ke dalam tatanan
kehidupan masyarakat suatu bangsa, yang hal itu pada akhirnya akan menjadi
sebuah problem sosial yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat secara
kompleks.
Tingkat kemiskinan yang parah inilah yang
kemudian memicu setiap orang untuk melakukan segala cara agar tetap hidup (survive).
Kondisi tersebut kemudian “memaksa” anak untuk terlibat dan ikut serta berusaha
keluar dari tingkat kesulitan hidup. Maka tidak jarang lampu merah, perempatan
jalan, terminal, pasar, dan tempat keramaian lainnya adalah tempat yang dirasa
mudah untuk menghasilkan uang, hanya dengan menengadahkan tangan atau dengan
sedikit menggunakan peralatan sederhana dan nyanyian-nyanyian khas pun
dilantunkan, sekedar mengharapkan
imbalan uang recehan logam walaupun tidak jarang nyanyian
mereka dihargai dengan gratis atau hanya mendapat ucapan terima kasih. Sehingga
dapat dilihat dari realita tersebut karena kebutuhan ekonomi orang tuanya atau
hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan dan kesenangannya sendiri sebagai
anak-anak. Sehingga banyak di antara mereka terpaksa meninggalkan bangku
sekolah, bukan karena mereka enggan menuntut ilmu atau bukan karena IQ mereka
tidak mumpu untuk proses transfer ilmu di sekolah formal, akan tetapi lebih kepada kondisi ekonomi yang
mengharuskan mereka untuk seperti itu.
Indonesia merupakan salah satu negara yang
meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak-hak Anak,
melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 36/0 tanggal 25 Agustus 1990. Dengan
diratifikasinya konvensi tesebut, berarti secara hukum, negara berkewajiban
memenuhi hak-hak anak, baik sipil, politik, sosial, budaya, dan ekonomi. Akan
tetapi, pada kenyatannya negara masih belum mampu memenuhi, Sampai sekarang
sudah banyak produk hukum yang bisa dijadikan sebagai acuan dalam membahas
tentang anak, khususnya perlindungan anak seperti :
1.
Pasal 34 dan Pasal tentang HAM di Pasal 28A UUD
1945.
2.
UU No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
3.
UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
4.
UU No. 20 tahun 1999 tentang Pengesahan ILO
Convention No. 138.
5.
UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
6.
UU No. 1 tahun 2000 tentang Pengesahan ILO
Convention No. 183.
7.
UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
8. UU
No. 23 tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Orang tua, keluarga, dan optimal dan terarah [7]
masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara Hak Asasi Manusia (HAM)
tersebut sesuai dengan kewajiban yang dikehendaki oleh negara hukum. Demikian
pula dalam rangka penyelenggaraan perlindungan negara terhadap anak, terutama
dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara Upaya perlindungan negara
terhadap anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam
kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun. Bertitik tolak dari
konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh dan komprehensif,
undang-undang perlindungan anak meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada
anak berdasarkan asas-asas yaitu :
1.
Non diskriminasi;
2.
Kepentingan yang terbaik bagi anak;
3.
Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan
perkembangan;
4. Penghargaan
terhadap pendapat anak.
Perlu kita camkan “Deklarasi Hak Anak-anak” oleh Majelis
Umum PBB, yang disahkan pada tanggal 20 Nopember 1958, bahwa umat manusia
berkewajiban memberikan yang terbaik bagi anak-anak. Dijelaskan dalam isi
tersebut, bahwa anak-anak tersebut mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan
khusus, kesempatan dan fasilitas yang memungkinkan mereka berkembang secara
sehat dan wajar dalam keadaan bebas dan bermanfaat yang sama: memiliki nama dan
kebangsaan sejak lahir; mendapat jaminan sosial termasuk gizi yang cukup,
perumahan, rekreasi dan pelayanan kesehatan, menerima pendidikan, perawatan dan
perlakuan khusus jika mereka cacat; tumbuh dan dibesarkan dalam suasana yang
penuh kasih sayang dan rasa aman sedapat mungkin di bawah asuhan serta tanggung
jawab orang tua mereka sendiri; mendapat pendidikan, dan andaikata terjadi
malapetaka mereka termasuk orang pertama yang menerima perlindungan serta
pertolongan memperoleh perlindungan baik atas segala bentuk penyia-nyiaan,
kekejaman dan penindasan maupun segala perbuatan yang mengarah ke dalam bentuk
diskriminisasi. Sebenarnya[8]
masalah perlindungan anak adalah suatu masalah yang kompleks dan menimbulkan
berbagai macam permasalahan yang lebih lanjut tidak mungkin dapat diatasi
secara perorangan, tetapi dalam penyelesaiannya harus secara bersama-sama,
karena dalam hal ini yang menjadi obyek dan subyek pelayanan dalam kegiatan
perlindungan anak sama-sama mempunyai hak-hak dan kewajiban.
Perlindungan anak merupakan suatu usaha yang
mengadakan kondisi dimana setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya.
Adapun perlindungan anak ini juga merupakan perwujudan adanya keadilan dalam
suatu masyarakat. Dengan demikian perlindungan anak sedapat mungkin harus
diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat.[9]
Salah satu indikatornya adalah keberadaan
pengemis anak. Bukan hanya berkaitan dengan dilanggarnya hak-hak anak, tapi
juga membawa dampak buruk bagi anak-anak, baik secara fisik maupun psikis.
Lebih jauh, dikhawatirkan akan mengganggu masa depan anak-anak untuk mendapat
kehidupan yang lebih baik. bahwa sampai saat ini masih terdapat perbedaan atau
ketidak seragaman terhadap batas usia seorang anak dalam berbagai peraturan
perundang-undangan, sehingga menimbulkan hambatan dalam proses penegakan hukum.
Dilihat dari segi produk hukum, maka implementasi perlindungan atau jaminan
hukum terhadap hak anak di Indonesia sudah agak memadai hal ini ditandai dengan
adanya beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Anak dan
telah pula meratifikasi Konvensi Hak Anak. Undang-undang yang mengatur tentang
anak seperti; Undang-Undang Nomor. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang
Nomor. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan Undang-Undang Nomor. 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang
Nomor. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Undang-Undang Nomor. 39 Tahun 1999
tentang HAM, dan Undang-Undang Nomor.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Kehadiran peraturan perundang-undangan ini telah menjamin keberadaan hak anak,
namun dalam pelaksanaannya yang masih jauh dari harapan, mengingat masih
banyaknya anak yang dieskploitasi dalam berbagai kasus seperti pekerja anak,
anak terlantar, anak pengemis, anak yang tidak dapat melajutkan pendidikan,
anak korban seksual, perdagangan anak, anak yang terlibat dalam konflik dan
sebagainya. Usaha untuk mencegah eksploitasi anak sebagaimana disebut di atas
memang telah dilakukan pemerintah untuk mewujudkan peningkatan dan perlindungan
kesejahteraan anak, namun kegiatan-kegiatan tersebut masih memerlukan
perbaikan. Untuk itu perlu dilakukan penegakan terhadap aturan-aturan yang
telah ada dengan mensosialisasikan. Bahwa pentingnya perlindungan hak konstitusional
anak. Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk itu antara lain peningkatan
pemahaman dan kesadaran masyarakat akan hak-hak anak, memberikan pendidikan
pada anak-anak akan hak mereka, peningkatan pemahaman dan kesadaran para
pembuat peraturan perundang-undangan akan hak-hak anak, peningkatan pemahaman,
profesionalisme dari para penegak hukum mengenai hak-hak anak dalam melayani
dan melindungi serta meningkatkan peran lembaga-lembaga kemasyakatan yang ada
untuk menegakkan dan memulihkan hak-hak anak. Bellamy mengatakan, anak-anak
yang bekerja di usia dini, yang biasanya berasal dari keluarga miskin, dengan
pendidikan yang terabaikan, sesungguhnya akan melestarikan kemiskinan, karena
anak yang bekerja tumbuh menjadi seorang dewasa yang terjebak dalam pekerjaan
yang tak terlatih, dan dengan upah yang sangat buruk[10].
Membiarkan anak-anak bekerja
sebagai pengganti sekolah dapat membuat “lingkaran setan” (vicious circle);
awalnya, bekerja menimbulkan dampak buruk bagi sekolah, selanjutnya
berpendidikan rendahatau tidak berpendidikan sama sekali dapat mengakibatkan
berlanjutnya pekerja anak.[11]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar