SEJARAH PERKEMBANGAN HPI
HPI tumbuh dari
persoalan-persoalan hukum yang timbul dalam masyarakat. Ia terus tumbuh dan
berkembang mengikuti dinamika masyarakat. Tulisan-tulisan para sarjana dan
doktrin para ahli ikut memberi pengaruh dalam perkembangan hukum perdata
internasional yang telah berlangsung berabad-abad.
1. PADA MASA KERAJAAN ROMA (SAMPAI ABAD IV)
Pada masa
Kerajaan Roma, pola hubungan internasional dalam wujudnya yang sederhana sudah
mulai tampak dengan adanya hubungan-hubungan antara:
- Warga (cives) Romawi dengan orang-orang asing.
- Orang-orang asing atau orang-orang yang berhubungan dengan lebih dari satu daerah di dalam wilayah Roma sehingga ia dapat dianggap sebagai subjek dari beberapa yurisdiksi yang berbeda.
Pada akhir
masa republik, kerajaan Roma terpecah-pecah menjadi kota-kota, dengan pemerintahan
dan peradilan serta sistem hukumnya sendiri-sendiri. Keadaan seperti inilah
yang sebetulnya memungkinkan timbulnya HPI. Setiap penduduk mempunyai ikatan
pertalian dengan Roma sebagai kaula kerajaan atau dengan satu atau lebih
kota-kota tersebut sebagai warga kota..
Kewargaan ditetapkan berdasarkan:
1.
origo (asal-usul)
2.
adopsi
3.
pembebasan budak
4.
dipilihnya seseorang untuk jabatan tertentu.
Jadi,
seseorang mungkin menjadi warga dari beberapa kota pada waktu yang bersamaan. Umpamanya
seseorang yang dilahirkan di kota A, kemudian
diadopsi di kota B dan berdomisili di kota C. Akibatnya dalam keadaan demikian, orang itu akan
dikuasai oleh beberapa sistem hukum pada waktu yang sama, karena ada aturan
pokok yang menentukan bahwa seseorang dapat dituntut di muka hakim kota kewargaannya atau
domisilinya. Keadaan demikian lalu menimbulkan masalah pilihan hukum, sistem hukum
mana yang harus diterapkan? Maka dengan ini sebetulnya sudah timbul HPI.
Pada masa Roma
berkembang asas-asas yang dilandasi ASAS
TERRITORIAL yang dewasa ini dapat dianggap sebagai asas HPI yang penting,
misalnya:
-
Asas Lex Rei
Sitae (Lex Situs) yang menyatakan bahwa hukum yang diberlakukan atas suatu benda adalah hukum dari benda
terletak/berada.
-
Asas Lex Loci
Contractus yang menyatakan bahwa terhadap perjanjian-perjanjian yang bersifat
HPI berlaku kaidah-kaidah hukum dari tempat pembuatan perjanjian.
-
Asas Lex Domicili
yang menyatakan bahwa hukum yang mengatur hak serta kewajiban perorangan adalah
hukum dari tempat seseorang berkediaman tetap.
2. MASA PERTUMBUHAN ASAS
PERSONAL (ABAD KE 6-10 MASEHI)
Pada akhir
abad ke-6 kerajaan Roma ditaklukkan oleh bangsa Barbar. Bekas wilayah
kekaisaran Romawi diduduki oleh pelbagai suku bangsa. Masing-masing suku bangsa
itu tetap memberlakukan hukum personal, hukum keluarga serta hukum agama (tribal laws atau systems of personal law)nya
masing-masing di daerah yang didudukinya.
Dalam
menyelesaikan sengketa yang menyangkut dua suku yang berbeda, biasanya
ditentukan terlebih dahulu kaedah-kaedah hukum adat masing-masing suku untuk
kemudian ditetapkan hukum mana yang akan diberlakukan.
Beberapa
asas/prinsip HPI yang tumbuh pada masa itu yang sekarang dikenal dengan ASAS PERSONAL, yaitu:
-
asas yang menetapkan bahwa: hukum yang berlaku dalam
suatu perkara adalah Hukum personal dari pihak tergugat.
-
Asas yang menyatakan bahwa: kemampuan untuk melakukan
perbuatan hukum seseorang ditentukan oleh hukum personal orang tersebut atau
kapasitas para pihak dalam suatu perjanjian harus ditentukan oleh hukum
personal masing-masing pihak.
-
Asas yang menetapkan bahwa: masalah pewarisan diatur
berdasarkan hukum personal dari si pewaris.
-
Pengesahan suatu perkawinan harus dilakukan berdasarkan
hukum personal dari sang suami.
3. PERTUMBUHAN PRINSIP TERRITORIAL (ABAD 11-12)
Di Eropa Utara
Peralihan dari
struktur masyarakat genealogis ke masyarakat territorial tampak dari tumbuhnya
unit-unit masyarakat yang feodalistis, khususnya di wilayah Inggris, Perancis
dan Jerman. Tidak ada pengakuan terhadap hak-hak asing dan hak-hak yang
dimiliki seseorang asing dapat begitu saja dicabut oleh penguasa. Dalam situasi
seperti ini tidak ada perkembangan HPI yang berarti di kawasan ini.
Di Eropa
Selatan
Dasar ikatan
antar manusia adalah tempat tinggal yang sama. Keanekaragaman sistem-sistem
hukum lokal ditambah dengan tingginya intensitas perdagangan antar kota seringkali menimbulkan problem tentang pengakuan
terhadap hokum dan hak-hak asing di dalam wilayah suatu kota. Situasi ini mendorong tumbuhnya
pemikiran tentang kaidah-kaidah yang dapat dianggap sebagai cikal bakal
kaidah-kaidah HPI.
4. MASA PERKEMBANGAN TEORI STATUTA ITALIA (ABAD KE 13-15)
Asas territorial membutuhkan peninjauan
kembali khusunya di Italia dengan intensitas hubungan perdagangan antar kota yang semakin ramai.
Kenyataan seperti ini mendorong para ahli hokum untuk mencari asas-asas hukum
yang dianggap lebih adil dan wajar. Kelompok ahli hukum yang memusatkan
perhatiannya pada masalah-masalah hokum perselisihan dikenal dengan sebutan
kaum Post Glossators.
Usaha kelompok ini diarahkan untuk mencari
dasar hukum baru untuk mengatur hubungan-hubungan hukum diantara para pihak
yang tunduk pada dua sistem hukum yang berbeda. Ini adalah awal dari perkembangan
TEORI STATUTA. Pada awal
perkembangannya, yang dimaksud dengan Statuta adalah:
Semua kaedah hokum lokal
yang berlaku dan menjadi ciri khas suatu kota
(di Italia) yang berbeda dari kaedah-kaedah hukum umum yang berlaku di seluruh
Italia.
Berdasarkan lingkup berlaku suatu statute, para ahli membedakan 3 jenis
statute yaitu:
- Statute REALIA adalah statute yang berkenaan dengan benda dan hanya berlaku di dalam batas-batas territorial hukumnya sendiri, namun berlaku bagi setiap orang yang melakukan transaksi di dalam batas-batas wilayah itu.
- Statute PERSONALIA adalah statute yang berkenaan dengan orang dalam peristiwa-peristiwa hukum yang menyangkut pribadi dan keluarga. Kaidah-kaidah hukum yang dikategorikan ke dalam statute personalia hanya berlaku terhadap orang yang berkediaman tetap di wilayah penguasa yang memberlakukan statute itu.
- Statute MIXTA adalah kaidah-kaidah hukum yang lebih banyak berkenaan dengan perbuatan-perbuatan hukum daripada suatu subjek hukum atau suatu benda. Statute mixta ini berlaku terhadap semua perbuatan atau peristiwa yang dilakukan atau terjadi di dalam wilayah penguasa.
Berdasarkan
teori statute itu kemudian dikembangkan metode berpikir HPI sebagai berikut:
-
Bila persoalan HPI yang dihadapi ternyata menyangkut persoalan
status suatu benda, maka kedudukan hukum benda itu berdasarkan statute realia
dari tempat dimana benda berada.
-
Bila persoalan HPI menyangkut status personal seseorang
maka status personal orang itu harus diatur berdasarkan statute personalia dari
tempat di mana orang tersebut berkediaman tetap (Lex Domicili).
-
Bila persoalan HPI yang dihadapi ternyata berkenaan
dengan bentuk dan atau akibat dari suatu perbuatan hukum, maka perbuatan itu
harus tunduk pada kaidah-kaidah mixta dari tempat dimana perbuatan hukum itu
dilakukan.
5. TEORI STATUTA DI PRANCIS ( ABAD ke 16)
Negara Perancis memiliki system
hokumnya masing-masing yang disebut Coutume
(customs). Adanya keanekargaman
Coutumes berdampak pada meningkatnya intensitas perdagangan antar propinsi sehingga
konflik-konflik hukum antar propinsi semakin sering terjadi.
6. TEORI STATUTA DI NEGERI BELANDA (ABAD KE 17-18)
Prinsip dasar yang digunakan oleh
penganut teori statute di Belanda adalah Kedaulatan
Ekslusif Negara. Prinsip-prinsip itu
adalah sebagai berikut:
- Hukum dari suatu Negara mempunyai daya berlaku yang mutlak hanya di dalam batas-batas wilayah kedaulatannya.
- Semua orang, baik yang tetap atau sementara, berada di dalam wilayah suatu Negara yang berdaulat harus sebagai subjek hukum dari Negara itu dan terikat pada hukum Negara itu.
- Berdasarkan alasan sopan santun antar Negara, diakui pula bahwa setiap pemerintahan Negara yang berdaulat mengakui bahwa hukum yang sudah berlaku di Negara asalnya akan tetap memiliki kekuatan berlaku dimana-mana.
Walaupun
setiap bangsa bebas untuk menetapkan kaidah-kaidah HPI-nya sendiri, namun ia
tidak dapat sepenuhnya bertindak bebas.
Johanes Voet
beranggapan bahwa: pada dasarnya tidak ada Negara yang wajib menyatakan bahwa
suatu kaidah hukum asing hanya berlaku di dalam yurisdiksinya. Hal ini disebut
dengan Comitas Gentium.
7. TEORI HPI UNIVERSAL (ABAD 19)
Isi pemikiran Von Wachter
adalah upaya untuk meninggalkan klasifikasi hukum ala teori statute dan
memusatkan perhatiannya pada upaya penetapan hukum yang seharusnya terhadap
hubungan hukum tertentu. Dengan tetap menggunakan hubungan hukum sebagai titik
tolak, Von Savigny lebih bersikap universalistic dan melihat bahwa tugas utama
hakim adalah menetapkan system hukum mana yang merupakan tempat kedudukan
hubungan hukum itu sesuai dengan hakikatnya. Ajaran Savigny menjadi dasar dari
seluruh system HPI Eropa Kontinental. Yang dilakukan di dalam system ini adalah
menentukan system hukum dan bukan memilih aturan hukum substantive untuk
memutus perkara.
Referensi yang diambil yaitu :
Buku - buku Hubungan Internasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar