A. RUANG LINGKUP HAK-HAK
KONSTITUSIONAL ANAK TERLANTAR DI INDONESIA
Faktor yang menjadi
penyebab mengapa anak menjadi anak terlantar, antara lain :[1]
1. Faktor
keluarga
Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang
terdiri dari suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan
anaknya (UU no 10 tahun 1992). dimana keluarga ini merupakan faktor yang
paling penting yang sangat berperan dalam pola dasar anak. kelalaian orang tua
terhadap anak sehingga anak merasa ditelantarkan. anak-anak sebetulnyahanya
membutuhkan perlindungan, tetapi juga perlindungan orang tuanya untuk tumbuh
berkembang secara wajar.
2. Faktor pendidikan
Di lingkungan masyarakat miskin pendidikan
cenderung diterlantarkan karena krisis kepercayaan pendidikan dan juga
ketidakadaan biaya untuk mendapatkan pendidikan.
3. Faktor sosial, politik dan
ekonomi
Akibat situasi krisis ekonomi yang tak kunjung
usai, pemerintah mau tidak mau memang harus menyisihkan anggaran untuk
membayar utang dan memperbaiki kinerja perekonomian jauh lebih banyak daripada
anggaran yang disediakan untuk fasilitas kesehatan, pendidikan, dan
perlindungan sosial anak.
4. Kelahiran diluar nikah
Seorang anak yang kelahirannya tidak dikehendaki
pada umumnya sangat rawan untuk ditelantarkan dan bahkan diperlakukan salah (child abuse). pada tingkat yang
ekstremperilaku penelantaran anak bisa berupa tindakan pembuangan anak untuk
menutupi aib atau karena ketidak sanggupan orang tua untuk melahirkan dan
memelihara anaknya secara wajar.
Masalah
paling mendasar yang dialami oleh anak terlantar adalah kecilnya kemungkinan
untuk mendapatkan kesempatan dibidang pendidikan yang layak. Hal ini disebabkan
karena beberapa faktor yaitu :
1. Ketiadaan biaya; sebagian besar anak terlantar
berasal dari keluarga dengan strata ekonomi yang sangat rendah, sehingga biaya
pendidikan yang seharusnya disediakan oleh keluarga tidak tersedia sama
sekali .
2. Keterbatasan waktu; untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari, sebagian besar anak terlantar bekerja secara serabutan untuk
mendapatkan penghasilan, bahkan ada juga yang berusaha untuk mendapatkan
penghasilan dari cara-cara yang kurang pantas seperti mengemis, mencuri,
mencopet dan lain- lain. Sehingga waktu mereka sehari-hari banyak tersita di
tempat pekerjaan, jalanan, tempat-tempat kumuh dan lain-lain.
3. Rendahnya kemauan untuk belajar; kondisi ini
disebabkan oleh keadaan lingkungan di sekitarnya (teman-teman) yang didominasi
oleh anak-anak yang tidak bersekolah (putus sekolah), sehingga menyebabkan
adanya perspektif dalam diri anak terlantar bahwa tidak mendapatkan pendidikan
yang formal bukanlah suatu hal yang perlu dicemaskan.
4. Apatisme terhadap pendidikan, kemampuan mereka
untuk menghasilkan uang dalam waktu yang singkat menyebabkan mereka aptis
terhadap pendidikan. Sangat disayangkan sebenarnya, karena tidak selamanya
mereka harus ada dijalan untuk mengais rejeki, dan pada saat nanti mereka
memutuskan untuk keluar dari lingkungan anak jalanan maka modal pendidikan
sangat diperlukan.
5. Tidak berjalannya fungsi control oleh
keluarga, masyarakat dan pemerintah; kondisi ini disebabkan karena
masing-masing disibukkan dengan aktifitasnya masing-masing.
Berdasarkan kondisi anak terlantar yang telah dipaparkan di atas, maka
permasalahan yang dialami oleh anak terlantar dapat dirumuskan sebagai berikut
:
a. Anak terlantar turun ke jalan karena adanya
desakan ekonomi keluarga sehingga justru orang tua menyuruh anaknya untuk turun
ke jalan guna mencari tambahan untuk keluarga. Hal ini terjadi karena tidak
berfungsinya keluarga dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Juga disebabkan karena
fokus keuangan keluarga terbatas hanya pemenuhan kebutuhan sehari-hari, bukan
untuk pendidikan.
b. Rendahnya pendidikan orang tua anak terlantar
sehingga mereka tidak mengetahui fungsi dan peran sebagai orang tua dan juga
ketidaktahuannya mengenai hak-hak anak.
c. Belum adanya payung kebijakan mengenai anak
yang turun ke jalan baik kebijakan dari kepolisian, Pemda, maupun Departemen
Sosial.
d. Belum optimalnya social control di dalam
masyarakat.
e. Belum berperannya lembaga-lembaga organisasi
sosial, serta belum adanya penanganan yang secara multi sistem base.
f. Lingkungan
sosial tempat anak terlantar tinggal tidak mendukung mereka dari sisi mental
psikologis untuk masuk ke sekolah formal Kurangnya apresiasi masyarakat
terhadap potensi dan kreatifitas dari anak terlantar.
Anak adalah asset masa depan
bangsa. Anak seharusnya dibimbing, diarahkan, dijaga, dirawat, dan dididik
secara baik. Adapun ruang lingkup
hak-hak anak Indonesia yang disediakan oleh negara dan diatur Undang-Undang
Dasar 1945 antara lainnya ialah:[2]
1.
Berhak untuk dapat hidup,
tumbuh dan berkembang dan berpartisipasi secara optimal atau wajar sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapatkan perlindungan yang
layak dari kekerasan dan diskriminasi;
2.
Berhak atas suatu nama sebagai
identitas diri dan status kewarganegaraan;
3.
Berhak untuk ibadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi
sesuai dengan tingkat kecerdasannya dan usianya, dalam bimbingan orang tua;
4.
Dalam sebab karena sebab orang
tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan
terlantar maka anak tersebut berhak untuk mendapatkan hak asuh dari orang lain
dan atau ditanggung oleh negara, sesuai dengan peraturan perundangan yang
berlaku;
5.
Berhak memperoleh pelayanan
kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual,
dan sosial;
6.
Berhak mendapatkan atau
memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan
tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya;
7.
Khusus bagi anak yang
menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi
anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus;
8.
Setiap anak berhak menyatakan
dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai
dengan tingkat kecerdasan dan usianya
demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusialaan dan panutan;
9.
Setiap anak penyandang cacat
berhak untuk mendapatkan rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf
kesejahteraan sosial;
10. Setiap
anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan
anak sebaya, bermain, berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkatan
kecerdasannya demi perkembangan diri;
11. Setiap
anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang
bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapatkan perlindungan dari
perlakuan;
a)
Diskriminasi;
b)
Eksploitasi, baik secara
ekonomi maupun seksual;
c)
Penelantaran;
d)
Kekejaman, kekerasan, da
penganiayaan;
e)
Ketidak adilan; dan
f)
Perlakuan salah lainnya.
12.
Setiap anak
berhak untuk memperoleh perlindungan
dari;
a.
Penyalahgunaan dalam kegiatan
politik;
b.
Pelibatan dalam sengketa
bersenjata;
c.
Pelibatan dalam kerusuhan
sosial;
d.
Pelibatan dalam peristiwa yang
mengandung unsur kekerasan; dan
e.
Pelibatan dalam peperangan.
13.
Setiap anak berhak memperoleh
perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman
yang tidak manusiawi. Setiap anak
berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum. Penangkapan, penahanan, tindak pidana penjara
anak hanya diberlakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya
dapat di berlakukan sebagai upaya yang terakhir.
14.
Setiap anak yang dirampas
kebebasannya berhak untuk;
a.
Medapatkan perlakuan secara
manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa;
b.
Memperoleh bantuan hukum atau
bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan
c.
Membela diri dan memperoleh
keadilan didepan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang
tertutup untuk umum.
Indonesia
merupakan salah satu negara yang meratifikasi Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak-hak Anak, melalui Keputusan Presiden (Keppres)
No. 36/0 tanggal 25 Agustus 1990.Dengan diratifikasinya konvensi tesebut,
berarti secara hukum, negara berkewajiban memenuhi hak-hak anak, baik sipil,
politik, sosial, budaya, dan ekonomi. Akan tetapi, pada kenyatannya negara
masih belum mampu memenuhi, Sampai sekarang sudah banyak produk hukum yang bisa
dijadikan sebagai acuan dalam membahas tentang anak, khususnya perlindungan
anak seperti: Pasal 34 dan Pasal tentang HAM di Pasal 28A UUD 1945,
Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor
3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang Nomor 20 tahun 1999 tentang Pengesahan ILO
Convention Nomor 138, Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, Undang-Undang Nomor 1 tahun 2000 tentang Pengesahan ILO
Convention Nomor 183, Undang-Undang
Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam
Rumah Tangga.
Orang
tua, keluarga, dan
optimal dan terarah [3]
masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara Hak Asasi Manusia
(HAM) tersebut sesuai dengan kewajiban yang dikehendaki oleh negara hukum.
Demikian pula dalam rangka penyelenggaraan perlindungan negara terhadap anak,
terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara Upaya
perlindungan negara terhadap anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni
sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun.
Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh dan komprehensif,
undang-undang perlindungan anak meletakkan kewajiban memberikan perlindungan
kepada anak berdasarkan asas-asas yaitu :
1.
Asas
dan prinsip Non diskriminasi;
Artinya
semua hak yang diakui dan terkandung dalam KHA harus diberlakukan kepada setiap
anak tanpa pembedaan apapun. Prinsip ini ada dalam pasal 2 ayat (1),
‘‘Negara-negara pihak menghormati dan menjamin hak-hak yang ditetapkan dalam
konvensi ini bagi setiap anak yang berada diwilayah hukum mereka tanpa
diskriminasi dalam bentuk apapun, tanpa
memandang ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik,
atau pandangan-pandangan lain, asal-usul kebangsaan, etnik atau social, status
kepemilikan, cacat atau tidak, kelahiran atau status lainnya baik dari si anak
itu sendiri atau dari orang tua walinya yang sah.’’ Ayat (2) ‘‘Negara-negara
pihak akan mengambil semua langkah yang perlu untuk menjamin agar anak
dilindungi dari semua diskriminasi atau hukuman yang didasarkan pada status,
kegiatan, pendapat yang dikemukakan atau keyakinan dari orang tua anak, walinya
yang sah atau keluarganya.’’
2. Asas
dan prinsip Kepentingan yang terbaik
bagi anak (Best Interests Of The
Child);
Prinsip
ini tercantum dalam pasal 3 ayat (1) KHA, ‘‘ dalam semua tindakan yang
menyangkut anak yang dilakukan lembaga-lembaga kesejahteraan social pemerintah
maupun swasta, lembaga peradilan, lembaga pemerintah atau badan legislative,
maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama.’’
Prinsip
ini mengingatkan kepada semua penyelenggaraan perlindungan anak bahwa
pertimbangan-pertimbangan dalam pengambilan keputusan apa lagi berpusat kepada
kepentingan orang dewasa. Apa yang menurut orang dewasa baik, belum tentu baik
pula menurut ukuran kepentingan anak. Boleh jadi maksud dan tujuan orang dewasa
memberikan bantuan dan menolong, akan tetapi yang sesungguhnya terjadi adalah
penghancuran masa depan si anak.
3. Asas dan
prinsip Hak untuk hidup,
kelangsungan hidup, dan perkembangan (The
Right To Life, Survival, And Development);
Prinsip
ini tercantum dalam pasal 6 KHA ayat (1): ‘‘Negara-negara pihak mengakui bahwa
setiap anak memiliki hak yang melekat atas kehidupan.’’ Ayat (2)
‘‘Negara-negara pihak akan menjamin sampai batas maksimal kelangsungan hidup
dan perkembangan anak.’’
Pesan
dari prinsip ini sangat jelas bahwa Negara harus memmastikan setiap anak akan
terjamin kelangsungan hidupnya karena hak hidup adalah sesuatu yang melekat
dalam dirinya, bukan pemberian dari negara atau orang perorangan. Untuk
menjamin hak hidup tersebut berarti negara harus menyediakan lingkungan yang
kondusif, sarana, dan prasarana hidup yang memadai, serta akses setiap anak
untuk memperoleh kebutuhan-kebutuhan dasar.Berkaitan dengan prinsip ini, telah
juga dijabarkan dalam pembatasan sebelumnya berkaitan dengan hak-hak anak.
4. Asas dan
prinsip Penghargaan terhadap
pendapat anak (Respect For The Views Of
The Child);
Prinsip ini
ada dalam pasal 12 ayat (1) KHA; ‘‘Negara-negara pihak akan menjamin
anak-anak yang mempunyai pandangan sendiri memperoleh hak menyatakan pandangan-pandangan
secara bebas dalam semua hal yang mempengaruhi anak, dan pandangan tersebut
akan dihargai sesuai dengan tingkat usia dan kematangan.’’
Prinsip
ini menegaskan bahwa anak memiliki otonomi kepribadian. Oleh karena itu, dia
tidak bias hanya dipandang dalam posisi yang lemah, menerima, dan pasif, tetapi
sesungguhnya dia pribadi otonom yang memiliki pengalaman, keinginan, imajinasi,
obsesi, dan aspirasi yang belum tentu sama dengan orang dewasa.
Dapat
ditarik satu simpul pengertian bahwa perspektif perlindungan anak adalah cara
pandang terhadap semua persoalan dengan
menempatkan posisi anak sebagai yang pertama dan utama. Implementasinya
cara pandang demikian adalah ketika kita selalu menempatkan urusan anak sebagai
hal yang paling utama.[4]
Kepentingan terbaik bagi anak
Kelangsungan
Hidup
dan
Perkembangan
|
Nondiskriminasi Partisipasi
Anak
Gambar 3.1.Prinsip
perlindungan anak[5]
Perlindungan
anak merupakan suatu usaha yang mengadakan kondisi dimana setiap anak dapat
melaksanakan hak dan kewajibannya.Adapun perlindungan anak ini juga merupakan
perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat.Dengan demikian perlindungan
anak sedapat mungkin harus diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara
dan bermasyarakat.[6]
Salah satu indikatornya adalah keberadaan pengemis
anak.Bukan hanya berkaitan dengan dilanggarnya hak-hak anak, tapi juga membawa
dampak buruk bagi anak-anak, baik secara fisik maupun psikis. Lebih jauh, dikhawatirkan akan mengganggu
masa depan anak-anak untuk mendapat kehidupan yang lebih baik. bahwa sampai
saat ini masih terdapat perbedaan atau ketidak seragaman terhadap batas usia
seorang anak dalam berbagai peraturan perundang-undangan, sehingga menimbulkan
hambatan dalam proses penegakan hukum.
Usaha untuk mencegah eksploitasi anak sebagaimana disebut di atas memang
telah dilakukan pemerintah untuk mewujudkan peningkatan dan perlindungan
kesejahteraan anak, namun kegiatan-kegiatan tersebut masih memerlukan
perbaikan.Untuk itu perlu dilakukan penegakan terhadap aturan-aturan yang telah
ada dengan mensosialisasikan.
Bahwa pentingnya perlindungan hak konstitusional
anak. Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk itu antara lain peningkatan
pemahaman dan kesadaran masyarakat akan hak-hak anak, memberikan pendidikan
pada anak-anak akan hak mereka, peningkatan pemahaman dan kesadaran para
pembuat peraturan perundang-undangan akan hak-hak anak, peningkatan pemahaman,
profesionalisme dari para penegak hukum mengenai hak-hak anak dalam melayani
dan melindungi serta meningkatkan peran lembaga-lembaga kemasyakatan yang ada
untuk menegakkan dan memulihkan hak-hak anak.
Bellamy mengatakan, anak-anak yang bekerja di usia
dini, yang biasanya berasal dari keluarga miskin, dengan pendidikan yang
terabaikan, sesungguhnya akan melestarikan kemiskinan, karena anak yang bekerja
tumbuh menjadi seorang dewasa yang
terjebak dalam pekerjaan yang tak terlatih, dan dengan upah yang sangat buruk.[7]
Jadi membiarkan anak-anak bekerja sebagai pengganti sekolah dapat membuat
“lingkaran setan” (vicious circle); awalnya, bekerja menimbulkan dampak
buruk bagi sekolah, selanjutnya berpendidikan rendahatau tidak berpendidikan
sama sekali dapat mengakibatkan berlanjutnya pekerja anak.[8]
Berdasarkan
kualitas jaminan hak-hak konstitusionalnya, Undang-Undang Dasar hasil amandemen
mengatur lebih jauh mengenai hak-hak konsitusional dan di dalam Undang-Undang
dasar yang di amandemen tersebut banyak mengatur hak-hak konstitusional anak
dan hak-hak yang tercantum dalam unsur UUD’45 ialah:
1.
Anak berhak atas
kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik
dalam lingkungan keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan
berkembang secara wajar.
2.
Anak berhak atas
pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya dengan baik dan
berguna.
3.
Anak berhak atas
pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah
dilahirkan.
4.
Anak berhak atas perlindungan terhadap
lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan
perkembangan secara wajar.
5.
Dalam keadaan yang
membahayakan anaklah yang pertama kali berhak mendapatkan pertolongan, bantuan,
dan perlindungan.[9]
Di
dalam Undang-Undang Perlindungan anak, hak-hak anak diatur dalam ketentuan
Pasal 4 sampai dengan Pasal 18. Perlu diketahui bahwa di dalam Undang-Undang
Perlindungan Anak, diberikan batasan tentang usia seseorang dikategorikan
sebagai seorang anak apabila ia belum berusia 18 tahun termasuk anak yang dalam
kandungan. Di antara hak-hak anak yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan tersebut ádalah :
1.
Hak untuk hidup, tumbuh
dan berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi;
2.
Hak atas sebuah nama
sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan;
3.
Hak untuk beribadah
menurut agamanya, berpikir dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan
usianya dalam bimbingan orang tua;
4.
Hak untuk mengetahui
orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri; apabila karena
susuatu hal orang tuanya tidak bisa mengasuh sendiri, anak tersebut berhak
diasuh dan diangkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
5.
Hak untuk memperoleh
pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental,
spiritual dan social: hak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran;
6.
Hak untuk menyatakan
dan di dengar pendapatnya, menerima, mencari dan memberikan informasi sesuai
dengan tingkat kecerdasan dan usianya;
7.
Hak untuk beristirahat
dan memanfaatkan waktu Luang, bergaul dengan anak sebaya, bermain, berekreasi
dan berkreasi sesuai dengan minat dan bakatnya:
Negara,
pemerintah, masyarakat, keluarga, wali, orang tua dan lembaga sosial menjamin
perlindungan hak konstitusional anak dalam memeluk agamanya, meliputi
pembinaan, pembimbingan, dan pengamalan ajaran agama bagi anak.
Negara
atau Pemeritah berkewajiban menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan upaya
kesehatan yang komprehensif bagi anak, agar setiap anak memperoleh derajat yang
sama atau optimal sejak dalam kandungan. Upaya kesehatan yang komprehensif tersebut,diselenggarakan secara Cuma-Cuma
bagi keluarga yang tidak mampu .pelaksanaan ketentuan-ketentuan tersebut disesuaikan
dengan ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku.[10]
Dalam aspek sosial, pemerintah wajib menyelenggarakan pemeliharaan dan
perawatan anak terlantar, baik dalam lembaga maupun diluar lembaga. Negara berkewajiban untuk menyelenggarakan
pendidikan dasar 9 (Sembilan) tahun untuk semua anak.
Negara, pemerintah,
keluarga dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada
anak terlantar untuk memperoleh pendidikan dan pendidikan pada anak yang di
maksud tersebut diarahkan kepada [11]:
1.
Pengembangan sikap dan
kemampuan kepribadian anak, bakat, kemampuan metal, dan kemampuan fisik, sampai
mencapai potensi yang optimal;
2.
Pengembangan
penghormatan atas hak asasi manusia dan kebebasan asasi;
3.
Pengembangan rasa
hormat terhadap orang tua, identitas budaya, bahasa dan nilai-nilainya sendiri,
nilai-nilai nasional, dimana anak bertempat tinggal, dari mana anak berasal,
dan peradaban-peradaban yang berbeda-beda dari peradaban sendiri;
4.
Persiapan anak untuk
kehidupan yang bertanggung jawab; dan
5.
Pengembangan rasa
hormat dan cinta terhadap lingkungan hidup.
Fenomena merebaknya anak jalanan atau anak terlantar di Indonesia merupakan persoalan sosial yang
kompleks. Hidup menjadi anak jalanan
atau anak terlantar memang bukan merupakan pilihan yang menyenangkan, karena
mereka berada dalam kondisi yang tidak bermasa depan jelas, dan keberadaan
mereka tidak jarang menjadi “masalah” bagi banyak pihak, keluarga, masyarakat
dan negara. Namun, perhatian terhadap nasib anak jalanan tampaknya belum begitu
besar dan solutif. Mereka adalah amanah
tuhan yang harus dilindungi, dijamin hak-haknya, sehingga tumbuh-kembang
menjadi manusia dewasa yang bermanfaat, beradab dan bermasa depan cerah. Dalam
UUD 1945, “anak terlantar itu dipelihara oleh negara” bermakna pemerintah mempunyai tanggung jawab
terhadap pemeliharaan dan pembinaan anak-anak terlantar, termasuk anak jalanan.
Hak-hak asasi anak terlantar dan anak jalanan, pada hakekatnya sama dengan
hak-hak asasi manusia pada umumnya. Mereka perlu mendapatkan hak-haknya secara
normal sebagaimana layaknya anak, yaitu hak sipil dan kemerdekaan (civil rights and freedoms), lingkungan
keluarga dan pilihan pemeliharaan (family
envionment and alternative care), kesehatan dasar dan kesejahteraan (basic health and welfare), pendidikan,
rekreasi dan budaya (education, laisure
and culture activites), dan perlindungan khusus (special protection).Penanganan anak jalanan di seluruh wilayah kota
besar di Indonesia belum mempunyai model dan pendekatan yang tepat dan
efektif. dinilai kurang efektif karena
tidak menyentuh akar persoalan, yaitu kemiskinan dalam keluarga.[12]
Pembinaan dan pemberdayaan pada lingkungan keluarga belum
banyak dilakukan, sehingga penanganannya selama ini cenderung tidak
efektif. Keluarga merupakan “pusat
pendidikan, pembinaan dan pemberdayaan pertama” yang memungkinkan anak-anak itu
tumbuh dan berkembang dengan baik, sehat
dan cerdas. Pemberdayaan keluarga dari
anak jalanan, terutama dari segi ekonomi, pendidikan dan agamanya, diasumsikan
merupakan basis utama dan model yang efektif untuk penanganan dan pemberdayaan
anak jalanan.[13]
Anak jalanan turun ke jalan karena adanya desakan ekonomi
keluarga sehingga orang tua menyuruh anaknya untuk turun ke jalan guna mencari
tambahan untuk keluarga.Hal ini terjadi karena ketidak berfungsian keluarga
dalam memenuhi kebutuhan keluarga.Rumah tinggal yang kumuh membuat ketidak
betahan anak berada di rumah, sehingga
perumahan kumuh menjadi salah satu
faktor pendorong untuk anak turun ke jalan.Rendahnya pendidikan orang
tua anak jalanan sehingga mereka tidak mengetahui fungsi dan peran sebagai
orang tua dan juga ketidaktahuannya mengenai hak-hak anak.Belum adanya payung
kebijakan mengenai anak yang turun ke jalan baik kebijakan dari kepolisian,
Pemda, maupun Departemen Sosial.
Anak
jalanan menjadi dua kelompok, yaitu anak semi jalanan dan anak jalanan
murni. Anak semi jalanan diistilahkan untuk anak-anak yang hidup dan
mencari penghidupan dijalanan, tetapi tetap mempunyai hubungan dengan keluarga.
Sementara itu anak jalanan murni diistilahkan untuk anak-anak yang hidup
dan menjalani kehidupannya di jalanan tanpa punya hubungan dengan keluarganya.[14]
Anak jalanan dapat
dikelompokan menjadi 3 kelompok berdasarkan hubungan dengan orang tuanya, yaitu
: Pertama, Anak yang putus hubungan dengan orang tuanya, tidak sekolah dan
tinggal di jalanan ( anak yang hidup dijalanan / children the street ). Kedua, anak yang berhubungan
tidak teratur dengan orang tuanya, tidak sekolah, kembali ke orang tuanya
seminggu sekali, dua minggu sekali, dua bulan atau tiga bulan sekali biasa
disebut anak yang bekerja di jalanan ( Children
on the street ). Ketiga, Anak yang masih sekolah atau sudah putus sekolah,
kelompok ini masuk kategori anak yang rentan menjadi anak jalanan (vulnerable to be street children ).[15]
[2] Penjelasan Undang-Undang
Republik Indonesia, …Op Cit
[3]Penjelasan Umum Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
AnakLembaran Negara RI Tahun 2002 Nomor 109
[4]Hadi Supeno, Kriminalisasi
Anak Tawanan Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa Pemidanaan, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, hlm. 41
[7]Carol Bellamy, Laporan Situasi Anak-anak di Dunia, UNICEF, Jakarta,
1997,
hlm. 1
[8]Nachrowi Djalal Nachrowi dan Hardius Usman..Pekerja Anak di Indonesia;
Kondisi Determinan dan Eksploitasi (Kajian Kuantitatif), PT Grasindo, Jakarta, 2005, Hlm. 2
[9]Eny
Kusdarini, Perlindungan-anak-sebagai perwujudan HAM dan generasi penerus
bangsa, Jurnal
2005, Hlm. 7
[10]Ahmad , kamil dan Fauzan, Hukum
Perlindungan Dan Pengangkatan
Anak Di Indonesia, Raja Wali
Pers, 2010, hlm. 77-78
[11]Ibid
[12]http://www. kompas.com, Penanganan- rumah- singgah- bagi- anak
-terlantar -di -Indonesia, 26
Pebruari 2003, Terakhir di Akses Tanggal 11 Desember 2013
[13] http://t4rbiyah.blogspot.com/2008/01/permasalahan-anak-jalanan, Terakhir di Akses Tanggal 11 Desember 2013
[14]Asmawati. 2001, Anak Jalanan Dan Upaya Penanganannya Di Kota
Surabaya, Jurnal Hakiki Vol 1/No 2/Nov 1999. Hlm. 5
[15]Tata Sudrajat, Isu Prioritas Dan Program Intervensi Untuk
Menangani Anak. Jalanan, Jurnal Hakiki Vol 1/No 2/November 1999, hlm. 11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar