KUNJUNGILAH !!!!

TERIMA KASIH Telah Mengunjungi Blog Ini


Minggu, 10 Maret 2013


SEJARAH PERKEMBANGAN HPI

HPI tumbuh dari persoalan-persoalan hukum yang timbul dalam masyarakat. Ia terus tumbuh dan berkembang mengikuti dinamika masyarakat. Tulisan-tulisan para sarjana dan doktrin para ahli ikut memberi pengaruh dalam perkembangan hukum perdata internasional yang telah berlangsung berabad-abad.

1.     PADA MASA KERAJAAN ROMA (SAMPAI ABAD IV)
Pada masa Kerajaan Roma, pola hubungan internasional dalam wujudnya yang sederhana sudah mulai tampak dengan adanya hubungan-hubungan antara:
    1. Warga (cives) Romawi dengan orang-orang asing.
    2. Orang-orang asing atau orang-orang yang berhubungan dengan lebih dari satu daerah di dalam wilayah Roma sehingga ia dapat dianggap sebagai subjek dari beberapa yurisdiksi yang berbeda.
Pada akhir masa republik, kerajaan Roma terpecah-pecah menjadi kota-kota, dengan pemerintahan dan peradilan serta sistem hukumnya sendiri-sendiri. Keadaan seperti inilah yang sebetulnya memungkinkan timbulnya HPI. Setiap penduduk mempunyai ikatan pertalian dengan Roma sebagai kaula kerajaan atau dengan satu atau lebih kota-kota tersebut sebagai warga kota.. Kewargaan ditetapkan berdasarkan:
1.     origo (asal-usul)
2.     adopsi
3.     pembebasan budak
4.     dipilihnya seseorang untuk jabatan tertentu.

Jadi, seseorang mungkin menjadi warga dari beberapa kota pada waktu yang bersamaan. Umpamanya seseorang yang dilahirkan di kota A, kemudian diadopsi di kota B dan berdomisili di kota C. Akibatnya dalam keadaan demikian, orang itu akan dikuasai oleh beberapa sistem hukum pada waktu yang sama, karena ada aturan pokok yang menentukan bahwa seseorang dapat dituntut di muka hakim kota kewargaannya atau domisilinya. Keadaan demikian lalu menimbulkan masalah pilihan hukum, sistem hukum mana yang harus diterapkan? Maka dengan ini sebetulnya sudah timbul HPI.
Pada masa Roma berkembang asas-asas yang dilandasi ASAS TERRITORIAL yang dewasa ini dapat dianggap sebagai asas HPI yang penting, misalnya:
-                  Asas Lex Rei Sitae (Lex Situs) yang menyatakan bahwa hukum yang diberlakukan    atas suatu benda adalah hukum dari benda terletak/berada.
-                  Asas Lex Loci Contractus yang menyatakan bahwa terhadap perjanjian-perjanjian yang bersifat HPI berlaku kaidah-kaidah hukum dari tempat pembuatan perjanjian.
-                  Asas Lex Domicili yang menyatakan bahwa hukum yang mengatur hak serta kewajiban perorangan adalah hukum dari tempat seseorang berkediaman tetap.   

2. MASA PERTUMBUHAN ASAS PERSONAL (ABAD KE 6-10 MASEHI)
Pada akhir abad ke-6 kerajaan Roma ditaklukkan oleh bangsa Barbar. Bekas wilayah kekaisaran Romawi diduduki oleh pelbagai suku bangsa. Masing-masing suku bangsa itu tetap memberlakukan hukum personal, hukum keluarga serta hukum agama (tribal laws atau systems of personal law)nya masing-masing di daerah yang didudukinya.
Dalam menyelesaikan sengketa yang menyangkut dua suku yang berbeda, biasanya ditentukan terlebih dahulu kaedah-kaedah hukum adat masing-masing suku untuk kemudian ditetapkan hukum mana yang akan diberlakukan.
Beberapa asas/prinsip HPI yang tumbuh pada masa itu yang sekarang dikenal dengan ASAS PERSONAL, yaitu: 
-        asas yang menetapkan bahwa: hukum yang berlaku dalam suatu perkara adalah Hukum personal dari pihak tergugat.
-        Asas yang menyatakan bahwa: kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum seseorang ditentukan oleh hukum personal orang tersebut atau kapasitas para pihak dalam suatu perjanjian harus ditentukan oleh hukum personal masing-masing pihak.
-        Asas yang menetapkan bahwa: masalah pewarisan diatur berdasarkan hukum personal dari si pewaris.
-        Pengesahan suatu perkawinan harus dilakukan berdasarkan hukum personal dari sang suami.

3. PERTUMBUHAN PRINSIP TERRITORIAL (ABAD 11-12)
Di Eropa Utara
Peralihan dari struktur masyarakat genealogis ke masyarakat territorial tampak dari tumbuhnya unit-unit masyarakat yang feodalistis, khususnya di wilayah Inggris, Perancis dan Jerman. Tidak ada pengakuan terhadap hak-hak asing dan hak-hak yang dimiliki seseorang asing dapat begitu saja dicabut oleh penguasa. Dalam situasi seperti ini tidak ada perkembangan HPI yang berarti di kawasan ini.
Di Eropa Selatan
Dasar ikatan antar manusia adalah tempat tinggal yang sama. Keanekaragaman sistem-sistem hukum lokal ditambah dengan tingginya intensitas perdagangan antar kota seringkali menimbulkan problem tentang pengakuan terhadap hokum dan hak-hak asing di dalam wilayah suatu kota. Situasi ini mendorong tumbuhnya pemikiran tentang kaidah-kaidah yang dapat dianggap sebagai cikal bakal kaidah-kaidah HPI.

4. MASA PERKEMBANGAN TEORI STATUTA ITALIA (ABAD KE 13-15)
    Asas territorial membutuhkan peninjauan kembali khusunya di Italia dengan intensitas hubungan perdagangan antar kota yang semakin ramai. Kenyataan seperti ini mendorong para ahli hokum untuk mencari asas-asas hukum yang dianggap lebih adil dan wajar. Kelompok ahli hukum yang memusatkan perhatiannya pada masalah-masalah hokum perselisihan dikenal dengan sebutan kaum Post Glossators.
   Usaha kelompok ini diarahkan untuk mencari dasar hukum baru untuk mengatur hubungan-hubungan hukum diantara para pihak yang tunduk pada dua sistem hukum yang berbeda. Ini adalah awal dari perkembangan TEORI STATUTA. Pada awal perkembangannya, yang dimaksud dengan Statuta adalah:
          Semua kaedah hokum lokal yang berlaku dan menjadi ciri khas suatu kota (di Italia) yang berbeda dari kaedah-kaedah hukum umum yang berlaku di seluruh Italia.   

Berdasarkan lingkup berlaku suatu statute, para ahli membedakan 3 jenis statute yaitu:
  1. Statute REALIA adalah statute yang berkenaan dengan benda dan hanya berlaku di dalam batas-batas territorial hukumnya sendiri, namun berlaku bagi setiap orang yang melakukan transaksi di dalam batas-batas wilayah itu.
  2. Statute PERSONALIA adalah statute yang berkenaan dengan orang dalam peristiwa-peristiwa hukum yang menyangkut pribadi dan keluarga. Kaidah-kaidah hukum yang dikategorikan ke dalam statute personalia hanya berlaku terhadap orang yang berkediaman tetap di wilayah penguasa yang memberlakukan statute itu.
  3. Statute MIXTA adalah kaidah-kaidah hukum yang lebih banyak berkenaan dengan perbuatan-perbuatan hukum daripada suatu subjek hukum atau suatu benda. Statute mixta ini berlaku terhadap semua perbuatan atau peristiwa yang dilakukan atau terjadi di dalam wilayah penguasa. 

Berdasarkan teori statute itu kemudian dikembangkan metode berpikir HPI sebagai berikut:
-        Bila persoalan HPI yang dihadapi ternyata menyangkut persoalan status suatu benda, maka kedudukan hukum benda itu berdasarkan statute realia dari tempat dimana benda berada.
-        Bila persoalan HPI menyangkut status personal seseorang maka status personal orang itu harus diatur berdasarkan statute personalia dari tempat di mana orang tersebut berkediaman tetap (Lex Domicili).
-        Bila persoalan HPI yang dihadapi ternyata berkenaan dengan bentuk dan atau akibat dari suatu perbuatan hukum, maka perbuatan itu harus tunduk pada kaidah-kaidah mixta dari tempat dimana perbuatan hukum itu dilakukan.

5. TEORI STATUTA DI PRANCIS ( ABAD ke 16)  
     Negara Perancis memiliki system hokumnya masing-masing yang disebut Coutume (customs). Adanya keanekargaman Coutumes berdampak pada meningkatnya intensitas perdagangan antar propinsi sehingga konflik-konflik hukum antar propinsi semakin sering terjadi.

6. TEORI STATUTA DI NEGERI BELANDA (ABAD KE 17-18)
    Prinsip dasar yang digunakan oleh penganut teori statute di Belanda adalah Kedaulatan Ekslusif  Negara. Prinsip-prinsip itu adalah sebagai berikut:
  1. Hukum dari suatu Negara mempunyai daya berlaku yang mutlak hanya di dalam batas-batas wilayah kedaulatannya.
  2. Semua orang, baik yang tetap atau sementara, berada di dalam wilayah suatu Negara yang berdaulat harus sebagai subjek hukum dari Negara itu dan terikat pada hukum Negara itu.
  3. Berdasarkan alasan sopan santun antar Negara, diakui pula bahwa setiap pemerintahan Negara yang berdaulat mengakui bahwa hukum yang sudah berlaku di Negara asalnya akan tetap memiliki kekuatan berlaku dimana-mana.
Walaupun setiap bangsa bebas untuk menetapkan kaidah-kaidah HPI-nya sendiri, namun ia tidak dapat sepenuhnya bertindak bebas.
Johanes Voet beranggapan bahwa: pada dasarnya tidak ada Negara yang wajib menyatakan bahwa suatu kaidah hukum asing hanya berlaku di dalam yurisdiksinya. Hal ini disebut dengan Comitas Gentium.  


7. TEORI HPI UNIVERSAL (ABAD 19)
     Isi pemikiran Von Wachter adalah upaya untuk meninggalkan klasifikasi hukum ala teori statute dan memusatkan perhatiannya pada upaya penetapan hukum yang seharusnya terhadap hubungan hukum tertentu. Dengan tetap menggunakan hubungan hukum sebagai titik tolak, Von Savigny lebih bersikap universalistic dan melihat bahwa tugas utama hakim adalah menetapkan system hukum mana yang merupakan tempat kedudukan hubungan hukum itu sesuai dengan hakikatnya. Ajaran Savigny menjadi dasar dari seluruh system HPI Eropa Kontinental. Yang dilakukan di dalam system ini adalah menentukan system hukum dan bukan memilih aturan hukum substantive untuk memutus perkara. 




















                                                                   Referensi yang diambil yaitu :

Buku - buku  Hubungan Internasional  

Keterangan dari dosen HI : Ibu Widia Edorita, SH.,MH

Sabtu, 02 Maret 2013

PROFIL Q


Pada tanggal 13 januari 1986 lahirlah seorang bayi yang mungil, imut, dan lucu yang menggemaskan setiap orang yang melihatnya. Ia lahir pada malam hari dan tepatnya pada malam isnen kalau orang melayu dulu bilang, akan tetapi orang melayu pada zaman ini mengatakan pada malam hari senen dini hari jam 21.03 wib. Di sebuah kota yang strategis dan yang mana masyarakatnya hidup rukun, tentram, aman dan bersahaja yaitu di Muara Musu Barat. Dan ia dilahirkan dirumah nenek dan kakek sebelah pihak ibu yang mana nenek bernama Nur Laili dan kakek bernama Muhammad Zen.
Sebelum si anak bayi kecil yang mungil dan lucu ini lahir kedunia ada yang sangat kejadian yang sangat aneh menjelang kelahirannya yaitu semua binatang buas memekik dan mengaum yaitu harimau selalu memekik dan mengaum .
Sampai proses persalinannya selesai dan bahkan konon kabarnya dari seorang nenek yang bernama Nur Laili yaitu ibu dari pada mamanya si bayi itu berkata : “harimau itu memekik dan mengaum terus sampai siang (subuh)’’. Kata nenek Nur Laili.
Dan proses persalinanannya sang ibu di bantu oleh seorang bidan kampung yang sudah mahir dalam membantu para ibu-ibu yang ingin melahirkan dikampung itu ia bernama Nur Asiah, pas pada hari hujan deras dan petir menyambar, nah, pada waktulah sakit perut si ibu bayi ini mulai dan harimau memekik dan mengaum di samping dan belakang rumah itu, namun setelah  banyak rumah bidan kampung yang   dimintai tolong tapi bidan-bidan kampung yang lainnya pada tak mau atau ada yang udah berjanji.
Jadi ketika itu nenek itu pergi kerumah nenek Nur Asiah untuk minta tolong dalam proses kelahiran si bayi itu, tapi pada saat itu si nenek lagi sakit gigi dan leher. Tapi karena si nenek Nur Laili ini sudah gelap-gelapan dan memohon tolong padana maka ia pun mengambil payung dan pergi mengikuti si nenek bai tersebut untuk menolong proses kelahirannya bayi tersebut.
Dan setelah sampai dirumah atau ditempat si ibu bayi tersebut maka ia pun mengatakan bahwa ia akan membantu proses persalinannya asalkan ia didampingi dan di tolong agar prosesnya berjalan dengan selamat, dan ketika mengadakan proses persalinan maka tiba-tiba tanpa sengaja dan atas pertolongan-Nya untuk proses persalinan si bayi itu maka sakit yang ada padanya tadi hilang dan sembuh seketika karena kekuasaan dari Ilahi Rabbi Ya Karim.
Dan setelah proses persalinan berhasil dan keduanya selamat maka sibayi pun di adzankan olehnya (sibidan kampung) dan kemudian dimandikan dengan air panas kuku dan setelah itu di bedung dengan kain panjang. Kemudian diadzankan lagi pada telinga sebelah kanan dan kirinya di iqomahkan agar si anak tersebut menjadi anak yang sholeh dikemudian hari dan mau menuruti kata-kata yang baik dan alim.
Al kisah setelah beberapa hari kemudian setelah berumur 3 hari atau mungkin 7 hari maka diberikanlah bayi itu gelar atau nama yaitu ZULFAHMI yang mana dengan nama tersebut ia akan menjadi anak yang cerdas dan berguna bagi nusa dan Negara.
Setelah dikaji-kaji nama yang diberikan tersebut pada orang-orang ‘alim maka ternyata namanya itu adalah sebuah petuah yang menakjubkan sekali yang mana mempunyai arti “ZUL” artinya “MEMPUNYAI” dan “FAHMI” artinya “PEMAHAMAN”. Dan ketika digabung kalimat keduanya maka sempurnalah sudah yaitu “ZULFAHMI” yang artinya yang “MEMPUNYAI PEMAHAMAN”.
Ia ini mempunyai wajah yang rupawan yang membuat orang-orang disekelilingnya jadi tak mau berpisah dengannya walaupun sehari saja. Dan pada waktu dia dilahirkan kedunia ini tiada seorang lelaki pun yang ada dirumah tersebut melainkan nenek dan ibunya serta makciknya ang masih kecil saja, nah sampai suatu sore barulah kakeknya dating dan menggendongnya kegirangan karena telah mendapatkan cucu laki-laki.
Dan pada hari selasa zuhurnya maka ayahnya pun datang dan membawa makanan pisang dan sesampaina di rumah ia terkejut melihat sang anak. Lalu ia berusaha untuk mengambilnya namun ia tidak bisa atau tidak pandai, maka diletakkanlah bayi tersebut dipangkuannya dan jika lelah maka bayi tersebut pun di ambil lagi dari pangkuannya dan di letakkan lagi di tikarnya.
Dan didalam keseharian yang dijalaninya terasa indah dan menyenangkan sekali. Dan tiap malam rumah sijabang bayi tersebut di terangi dengan lampu togok (lampu) agar katanya hatinya selalu bahagia dihari depan. Dan agar ia di hari depan melihat keterangan yang baik dan masa depannya cerah gemilang dalam mencapai cita-citanya dikampung halaman maupun di negeri orang.
Dan pada suatu sabtu maka si bayi tersebut kedatangan dua orang tamu yaitu tak lain adalah kakek dan neneknya yang di Surau Munai datang untuk melihatnya dan mereka pun bermalam atau menginap, dan mereka berkumpul dirumah nenek dan kakek ang dimana seorang bayi mungil ini dilahirkan mungkin karena kegirangan atau terlalu bahagia maka mereka memberikan si cucu kain panjang dan baju yang baru.
Al kisah maka tersebutlah kisah bahwa dari proses tengkurap, kemudian proses meluncur, dan kemudian proses merangkak, hingga sampailah pada proses duduk seorang (duduk surang) maka si anak ini dibelikan kalung dan cincin emas, jam tangan, dan sepatu kulit dan ia juga dibelikan tempat duduk 2(dua) buah ang satu untuk di kereta atau di sepeda dan yang satu lagi untuk dirumah. namun konon ceritanya disamping ia dipakaikan kalung emas ia juga dipasangkan sebuah kalung pusaka yang terbuat dari tampuk labu cino.
Setelah ia berumur sekitar lebih kurang 3 tahun maka mereka pun dibawa pindah ke kampong halaman bapaknya yaitu Surau Munai dan disana mereka tinggal dirumah kakek yang disana yaitu bapak si ayah yang bernama Muhammad Nur Wahab Dan nenek bernama Tajunah.
Dan setelah beberapa hari tinggal disana kami hidup rukun dan juga merasai yang namanya hidup bahagia, tapi konon ceritanya yang dapat dirangkum dari orang-orang yang ada disekeliling rumah nenek itu mengatakan yaitu bahwa bibi atau makcik biso dan sering malasan saat sibayi menangis untuk mengambil sibayi.
Dan pada saat sibayi sudah beranjak umur 4 tahun mereka pun pindah rumah dan tepatnya dibelakang rumah nenek letaknya juga disurau munai, dan mereka pun berladang dan berkebun dibelakang rumah tersebut namun rumah sibayi pada saat itu adalah rumah papan yang beratapkan daun salak dan campur daun rotan (lelangkau). Dan saya diberikan oleh nenek buyut sibayi dua ekor ayam yang jantan dan betina dan al hasil ayam tersebut berkembang pesat dan Alhamdulillah berhasil untuk dijual tapi sibayi sayang maka disuruhnya agar jemput lagi ayam sibayi yang dijual ibu karena sibayi tak mau.  Ayam sibayi pada saat itu mencapai 3 kandang dan itu semua akhirnya setidak tahuannya sibayi dijual kepasar dan hasilnya di belikan ke baju dan sepatu

PERLINDUNGAN NEGARA TERHADAP HAK KONSTITUSIONAL ANAK DI ROKAN HULU

PERLINDUNGAN NEGARA TERHADAP HAK KONSTITUSIONAL ANAK DI ROKAN HULU

A.     Latar    Belakang   Masalahan
                        Anak adalah suatu potensi tumbuh kembang suatu Bangsa di masa depan, yang memiliki sifat dan ciri khusus. Kekhususan ini terletak pada sikap dan perilakunya di dalam memahami dunia, yang mesti dihadapinya. Oleh karenanya Anak patut diberi perlindungan secara khusus oleh negara dengan Undang-Undang. Anak adalah tunas pemangku estafet masa depan negara, bangsa maupun agama[1]. Oleh karena itu, maka perhatian yang besar terhadap anak, berarti perhatian yang besar pula pada negara, bangsa dan agama. Untuk  itu potensi anak perlu dikembangkan semaksimal mungkin serta dilindungi dari berbagai tindak kekerasan dan diskriminasi agar hak-hak anak dapat terjamin dan terpenuhi sehingga mereka dapat hidup , tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan kemampuannya.[2] 
                  Krisis moneter yang melanda hampir seluruh negara berkembang, khususnya Negara-negara ASEAN, pada tahun 1997 secara tidak langsung diyakini telah membawa pengaruh terhadap munculnya masalah-masalah sosial secara masal. Kekuatan krisis ekonomi itu seakan telah mengguncang dan menggoyahkan kemapanan dari perekonomian negara-negara yang terletak di wilayah Asia Tenggara, negara-negara yang selama ini menjadi barometer kemajuan perekonomian negara-negara di ASEAN seperti Thailand, Malaysia, dan Indonesia ternyata tidak terhindar dari krisis ini.
                          Di Indonesia krisis ekonomi juga diperburuk dengan terjadinya krisis multi dimensional yang melanda negara republik ini, krisis kepercayaan, krisis kepemimpinan, dan “krisis moral” telah menjadi pelengkap permasalahan, yang seakan-akan menjadikan masalah bangsa ini semakin kompleks[3].
                         Distribusi kekayaan dan kesejahteraan masyarakat yang menjadi tidak menentu akibat krisis ekonomi telah mengakibatkan peningkatan angka kemiskinan yang cukup signifikan, pendapatan perkapita yang sebelumnya mencapai $1000 dolar AS turun menjadi $ 400 dolar AS, jumlah rakyat yang berada di bawah garis kemiskinan pada tahun 1996 adalah sekitar 22 juta orang maka setelah krisis ekonomi ini jumlahnya meningkat tajam hingga menjadi 50 juta orang.[4]
                    Dengan kondisi seperti ini, maka rakyat merupakan subyek paling merasakan dampak dari krisis ini, sebenarnnya mengharapkan kehadiran pemeritah yang muncul sebagai pahlawan untuk memberikan solusi guna keluar dari keterpurukan, namun ternyata pemerintah pada saat itu telah dianggap gagal untuk mengatasi permasalahan yang cukup menyengsarakan perekonomian rakyat, khususnya rakyat kelas bawah ini. Kondisi ini semakin menguatkan gerakan oposisi yang memang telah sering mengeluarkan stigma mengenai perlunya reformasi nasional, maka sedikit demi sedikit pun permasalahan ini berhasil menggoyang otoritas kepemimpinan orde baru yang selama 32 tahun berkuasa itu.
                     Gerakan anti pemerintah pun muncul dimana-mana, aksi demonstrasi baik yang dilakukan oleh kelompok masyarakat ataupun gerakan mahasiswa yang menuntut turunnya rezim orde baru menjadi pemandangan umum dalam sejarah perjalanan bangsa ini menjelang lahirnya orde reformasi. Tindakan-tindakan anarkis yang mengakibatkan munculnya kerusuhan terjadi di beberapa kota di Indonesia, penjarahan, perusakan fasilitas umum, pembakaran terjadi dimana-mana, dan tidak hanya itu bahkan beberapa nyawa pun harus rela “dikorbankan” guna kelahiran reformasi ini. Melihat kondisi yang semakin tidak stabil ini, maka pada tanggal 21 Mei 2007 Presiden Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya sebagai Presiden RI dan ini adalah tonggak awal era refomasi yang kelahirannya dianggap sebagai keharusan sejarah (historische notwendigkeit) untuk Indonesia yang lebih baik, walaupun dalam perjalanannya hal itu tetap masih menyisakan berbagai permasalahan.[5]
                   Dampak krisis yang diperberat oleh terjadinya berbagai bencana yang telah menyebabkan banyak orang tua mengalami keterpurukan ekonomi, tidak sedikit usaha yang dijalankan berakhir dengan pemutusan hubungan kerja dan juga berakibat pada melambungnya harga barang kebutuhan sehingga banyak para orang tua yang tidak dapat memenuhi kebutuhan pangan.Dampak dari pemutusan hubungan kerja tersebut menimbulkan pengangguran,dan dari situlah dapat ditinjau banyaknya anak-anak jalanan yang meminta-minta, yang bekerja dan bahkan menjadi PSK (penjaja sek komersial).
                    Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia telah dengan jelas mencantumkan tentang hak anak, pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan Negara untuk memberikan perlindungan terhadap anak.  Orang tua, keluarga, dan masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara hak asasi anak tersebut sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum. Namun demikian juga dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak di indonesia, Negara dan pemerintah bertanggung jawab penuh untuk menyediakan fasilitas dan aksesibilasi bagi anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal dan terarah.
                   Didalam undang-undang tentang perlindungan anak juga menegaskan bahwa pertanggung jawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan Negara merupakan sebuah rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus-menerus demi terlindunginya hak-hak anak. Rangkaian tersebut harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan pada anak, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial. Tindakan ini bertujuan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang berpotensial, tangguh, memiliki jiwa  nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan ilai pancasila, serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa[i][6]
                   Di Indonesia, krisis ekonomi lebih dari sekedar ketidak seimbangan dalam fundamental perekonomian. Setidaknya, krisis ekonomi itu mengungkapkan kelemahan mendasar negara Indonesia. Masyarakat modern yang serba kompleks yaitu sebagai konsekuensi dari perkembangan zaman yang dipengaruhi oleh teknologi mekanisasi, industrialisasi, dan urbanisasi yang ternyata membawa dampak yang bersifat kausalitas dalam perkembangan di berbagai sektor kehidupan masyarakat, baik dari sektor ekonomi, social, politik, bahkan mempengaruhi tatanan nilai budaya suatu bangsa.
                   Secara material, arus perkembangan dan pertumbuhan tersebut berjalan dengan tanpa rintangan dan bahkan menjadi kebanggaan suatu bangsa. Di satu sisi, memang perubahan-perubahan tersebut telah membawa dampak kemajuan bagi kehidupan masyarakat suatu bangsa, namun di sisi lain dari perubahan tersebut ternyata membawa dampak terjadinya kesenjangan yang signifikan.
                   Di satu pihak, memang telah berdiri tegak bangunan-bangunan mewah yang membanggakan yang menjadi pusat perhatian, tetapi tidak jauh dari area tersebut ternyata tumbuh perkampungan kumuh yang memprihatinkan dengan kompleksitas permasalahan yang di dalamnya perlu segera mendapatkan perhatian khusus, yang sungguh hal ini adalah induk permasalahan yang dapat menghadirkan permasalahan baru yang masuk dan menyebar ke dalam tatanan kehidupan masyarakat suatu bangsa, yang hal itu pada akhirnya akan menjadi sebuah problem sosial yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat secara kompleks.
                  Tingkat kemiskinan yang parah inilah yang kemudian memicu setiap orang untuk melakukan segala cara agar tetap hidup (survive). Kondisi tersebut kemudian “memaksa” anak untuk terlibat dan ikut serta berusaha keluar dari tingkat kesulitan hidup. Maka tidak jarang lampu merah, perempatan jalan, terminal, pasar, dan tempat keramaian lainnya adalah tempat yang dirasa mudah untuk menghasilkan uang, hanya dengan menengadahkan tangan atau dengan sedikit menggunakan peralatan sederhana dan nyanyian-nyanyian khas pun dilantunkan,  sekedar mengharapkan imbalan uang  recehan  logam walaupun tidak jarang nyanyian mereka dihargai dengan gratis atau hanya mendapat ucapan terima kasih. Sehingga dapat dilihat dari realita tersebut karena kebutuhan ekonomi orang tuanya atau hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan dan kesenangannya sendiri sebagai anak-anak. Sehingga banyak di antara mereka terpaksa meninggalkan bangku sekolah, bukan karena mereka enggan menuntut ilmu atau bukan karena IQ mereka tidak mumpu untuk proses transfer ilmu di sekolah formal, akan  tetapi lebih kepada kondisi ekonomi yang mengharuskan mereka untuk seperti itu.
                    Indonesia merupakan salah satu negara yang meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak-hak Anak, melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 36/0 tanggal 25 Agustus 1990. Dengan diratifikasinya konvensi tesebut, berarti secara hukum, negara berkewajiban memenuhi hak-hak anak, baik sipil, politik, sosial, budaya, dan ekonomi. Akan tetapi, pada kenyatannya negara masih belum mampu memenuhi, Sampai sekarang sudah banyak produk hukum yang bisa dijadikan sebagai acuan dalam membahas tentang anak, khususnya perlindungan anak seperti :

1.     Pasal 34 dan Pasal tentang HAM di Pasal 28A UUD 1945.
2.     UU No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
3.     UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
4.     UU No. 20 tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention No. 138.
5.     UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
6.     UU No. 1 tahun 2000 tentang Pengesahan ILO Convention No. 183.
7.     UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
8.     UU No. 23 tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

                     Orang tua,  keluarga,  dan  optimal dan terarah [7] masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara Hak Asasi Manusia (HAM) tersebut sesuai dengan kewajiban yang dikehendaki oleh negara hukum. Demikian pula dalam rangka penyelenggaraan perlindungan negara terhadap anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara Upaya perlindungan negara terhadap anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun. Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh dan komprehensif, undang-undang perlindungan anak meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas yaitu :
1.    Non diskriminasi;
2.    Kepentingan yang terbaik bagi anak;
3.    Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan;
4.    Penghargaan terhadap pendapat anak.

                     Perlu kita camkan “Deklarasi Hak Anak-anak” oleh Majelis Umum PBB, yang disahkan pada tanggal 20 Nopember 1958, bahwa umat manusia berkewajiban memberikan yang terbaik bagi anak-anak. Dijelaskan dalam isi tersebut, bahwa anak-anak tersebut mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan khusus, kesempatan dan fasilitas yang memungkinkan mereka berkembang secara sehat dan wajar dalam keadaan bebas dan bermanfaat yang sama: memiliki nama dan kebangsaan sejak lahir; mendapat jaminan sosial termasuk gizi yang cukup, perumahan, rekreasi dan pelayanan kesehatan, menerima pendidikan, perawatan dan perlakuan khusus jika mereka cacat; tumbuh dan dibesarkan dalam suasana yang penuh kasih sayang dan rasa aman sedapat mungkin di bawah asuhan serta tanggung jawab orang tua mereka sendiri; mendapat pendidikan, dan andaikata terjadi malapetaka mereka termasuk orang pertama yang menerima perlindungan serta pertolongan memperoleh perlindungan baik atas segala bentuk penyia-nyiaan, kekejaman dan penindasan maupun segala perbuatan yang mengarah ke dalam bentuk diskriminisasi. Sebenarnya[8] masalah perlindungan anak adalah suatu masalah yang kompleks dan menimbulkan berbagai macam permasalahan yang lebih lanjut tidak mungkin dapat diatasi secara perorangan, tetapi dalam penyelesaiannya harus secara bersama-sama, karena dalam hal ini yang menjadi obyek dan subyek pelayanan dalam kegiatan perlindungan anak sama-sama mempunyai hak-hak dan kewajiban.
                    Perlindungan anak merupakan suatu usaha yang mengadakan kondisi dimana setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. Adapun perlindungan anak ini juga merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat. Dengan demikian perlindungan anak sedapat mungkin harus diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat.[9]
                  Salah satu indikatornya adalah keberadaan pengemis anak. Bukan hanya berkaitan dengan dilanggarnya hak-hak anak, tapi juga membawa dampak buruk bagi anak-anak, baik secara fisik maupun psikis. Lebih jauh, dikhawatirkan akan mengganggu masa depan anak-anak untuk mendapat kehidupan yang lebih baik. bahwa sampai saat ini masih terdapat perbedaan atau ketidak seragaman terhadap batas usia seorang anak dalam berbagai peraturan perundang-undangan, sehingga menimbulkan hambatan dalam proses penegakan hukum. Dilihat dari segi produk hukum, maka implementasi perlindungan atau jaminan hukum terhadap hak anak di Indonesia sudah agak memadai hal ini ditandai dengan adanya beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Anak dan telah pula meratifikasi Konvensi Hak Anak. Undang-undang yang mengatur tentang anak seperti; Undang-Undang Nomor. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan Undang-Undang Nomor. 23 Tahun 2002  tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Undang-Undang Nomor. 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan Undang-Undang Nomor.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Kehadiran peraturan perundang-undangan ini telah menjamin keberadaan hak anak, namun dalam pelaksanaannya yang masih jauh dari harapan, mengingat masih banyaknya anak yang dieskploitasi dalam berbagai kasus seperti pekerja anak, anak terlantar, anak pengemis, anak yang tidak dapat melajutkan pendidikan, anak korban seksual, perdagangan anak, anak yang terlibat dalam konflik dan sebagainya. Usaha untuk mencegah eksploitasi anak sebagaimana disebut di atas memang telah dilakukan pemerintah untuk mewujudkan peningkatan dan perlindungan kesejahteraan anak, namun kegiatan-kegiatan tersebut masih memerlukan perbaikan. Untuk itu perlu dilakukan penegakan terhadap aturan-aturan yang telah ada dengan mensosialisasikan. Bahwa pentingnya perlindungan hak konstitusional anak. Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk itu antara lain peningkatan pemahaman dan kesadaran masyarakat akan hak-hak anak, memberikan pendidikan pada anak-anak akan hak mereka, peningkatan pemahaman dan kesadaran para pembuat peraturan perundang-undangan akan hak-hak anak, peningkatan pemahaman, profesionalisme dari para penegak hukum mengenai hak-hak anak dalam melayani dan melindungi serta meningkatkan peran lembaga-lembaga kemasyakatan yang ada untuk menegakkan dan memulihkan hak-hak anak. Bellamy mengatakan, anak-anak yang bekerja di usia dini, yang biasanya berasal dari keluarga miskin, dengan pendidikan yang terabaikan, sesungguhnya akan melestarikan kemiskinan, karena anak yang bekerja tumbuh menjadi seorang dewasa yang terjebak dalam pekerjaan yang tak terlatih, dan dengan upah yang sangat buruk[10].
       Membiarkan anak-anak bekerja sebagai pengganti sekolah dapat membuat “lingkaran setan” (vicious circle); awalnya, bekerja menimbulkan dampak buruk bagi sekolah, selanjutnya berpendidikan rendahatau tidak berpendidikan sama sekali dapat mengakibatkan berlanjutnya pekerja anak.[11]


                         [1] Nurul Utami, Skripsi Hukum Universitas Riau  2011
                           [2] Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak,  Lembaran Negara RI Tahun 2002 Nomor 109.
                           [3] Http://www.SuaraPembaharuan.Com,( terakhir dikunjungi tanggal 19 Januari 2011, pukul 20.12 Wib)
                           [4] Ibid.
                          [5] Tim Kahmi Jaya. 1998. Indonesia di Simpang Jalan. Bandung : Mizan Pustaka. Hal. 22
          [6] Ahmad kamil dan fauzan, Hukum  Perlindungan Dan Pengangkatan Anak Di Indoensia, (Rajawali Press : 2008).
                         [7] Penjelasan Umum Undang-Undang  Nomor. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Lembaran Negara RI Tahun 2002 Nomor 109.
                           [8] Shanty Dellyana. Wanita dan Anak di Mata Hukum. Yogyakarta: Liberty. (Februari 2004). hal. 5
                           [9] Ibid. hal. 6  .   
                      [10] Carol Bellamy. 1997. Laporan Situasi Anak-anak di Dunia 1997. Unicef. Jakarta. hal 1.
                       [11] Nachrowi Djalal Nachrowi dan Hardius Usman. 2005. Pekerja Anak di Indonesia: Kondisi.    Determinan dan Eksploitasi (Kajian Kuantitatif). PT Grasindo. Jakarta. hal 2.


[i]