KUNJUNGILAH !!!!

TERIMA KASIH Telah Mengunjungi Blog Ini


Sabtu, 02 Maret 2013

PERLINDUNGAN NEGARA TERHADAP HAK KONSTITUSIONAL ANAK DI ROKAN HULU

PERLINDUNGAN NEGARA TERHADAP HAK KONSTITUSIONAL ANAK DI ROKAN HULU

A.     Latar    Belakang   Masalahan
                        Anak adalah suatu potensi tumbuh kembang suatu Bangsa di masa depan, yang memiliki sifat dan ciri khusus. Kekhususan ini terletak pada sikap dan perilakunya di dalam memahami dunia, yang mesti dihadapinya. Oleh karenanya Anak patut diberi perlindungan secara khusus oleh negara dengan Undang-Undang. Anak adalah tunas pemangku estafet masa depan negara, bangsa maupun agama[1]. Oleh karena itu, maka perhatian yang besar terhadap anak, berarti perhatian yang besar pula pada negara, bangsa dan agama. Untuk  itu potensi anak perlu dikembangkan semaksimal mungkin serta dilindungi dari berbagai tindak kekerasan dan diskriminasi agar hak-hak anak dapat terjamin dan terpenuhi sehingga mereka dapat hidup , tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan kemampuannya.[2] 
                  Krisis moneter yang melanda hampir seluruh negara berkembang, khususnya Negara-negara ASEAN, pada tahun 1997 secara tidak langsung diyakini telah membawa pengaruh terhadap munculnya masalah-masalah sosial secara masal. Kekuatan krisis ekonomi itu seakan telah mengguncang dan menggoyahkan kemapanan dari perekonomian negara-negara yang terletak di wilayah Asia Tenggara, negara-negara yang selama ini menjadi barometer kemajuan perekonomian negara-negara di ASEAN seperti Thailand, Malaysia, dan Indonesia ternyata tidak terhindar dari krisis ini.
                          Di Indonesia krisis ekonomi juga diperburuk dengan terjadinya krisis multi dimensional yang melanda negara republik ini, krisis kepercayaan, krisis kepemimpinan, dan “krisis moral” telah menjadi pelengkap permasalahan, yang seakan-akan menjadikan masalah bangsa ini semakin kompleks[3].
                         Distribusi kekayaan dan kesejahteraan masyarakat yang menjadi tidak menentu akibat krisis ekonomi telah mengakibatkan peningkatan angka kemiskinan yang cukup signifikan, pendapatan perkapita yang sebelumnya mencapai $1000 dolar AS turun menjadi $ 400 dolar AS, jumlah rakyat yang berada di bawah garis kemiskinan pada tahun 1996 adalah sekitar 22 juta orang maka setelah krisis ekonomi ini jumlahnya meningkat tajam hingga menjadi 50 juta orang.[4]
                    Dengan kondisi seperti ini, maka rakyat merupakan subyek paling merasakan dampak dari krisis ini, sebenarnnya mengharapkan kehadiran pemeritah yang muncul sebagai pahlawan untuk memberikan solusi guna keluar dari keterpurukan, namun ternyata pemerintah pada saat itu telah dianggap gagal untuk mengatasi permasalahan yang cukup menyengsarakan perekonomian rakyat, khususnya rakyat kelas bawah ini. Kondisi ini semakin menguatkan gerakan oposisi yang memang telah sering mengeluarkan stigma mengenai perlunya reformasi nasional, maka sedikit demi sedikit pun permasalahan ini berhasil menggoyang otoritas kepemimpinan orde baru yang selama 32 tahun berkuasa itu.
                     Gerakan anti pemerintah pun muncul dimana-mana, aksi demonstrasi baik yang dilakukan oleh kelompok masyarakat ataupun gerakan mahasiswa yang menuntut turunnya rezim orde baru menjadi pemandangan umum dalam sejarah perjalanan bangsa ini menjelang lahirnya orde reformasi. Tindakan-tindakan anarkis yang mengakibatkan munculnya kerusuhan terjadi di beberapa kota di Indonesia, penjarahan, perusakan fasilitas umum, pembakaran terjadi dimana-mana, dan tidak hanya itu bahkan beberapa nyawa pun harus rela “dikorbankan” guna kelahiran reformasi ini. Melihat kondisi yang semakin tidak stabil ini, maka pada tanggal 21 Mei 2007 Presiden Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya sebagai Presiden RI dan ini adalah tonggak awal era refomasi yang kelahirannya dianggap sebagai keharusan sejarah (historische notwendigkeit) untuk Indonesia yang lebih baik, walaupun dalam perjalanannya hal itu tetap masih menyisakan berbagai permasalahan.[5]
                   Dampak krisis yang diperberat oleh terjadinya berbagai bencana yang telah menyebabkan banyak orang tua mengalami keterpurukan ekonomi, tidak sedikit usaha yang dijalankan berakhir dengan pemutusan hubungan kerja dan juga berakibat pada melambungnya harga barang kebutuhan sehingga banyak para orang tua yang tidak dapat memenuhi kebutuhan pangan.Dampak dari pemutusan hubungan kerja tersebut menimbulkan pengangguran,dan dari situlah dapat ditinjau banyaknya anak-anak jalanan yang meminta-minta, yang bekerja dan bahkan menjadi PSK (penjaja sek komersial).
                    Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia telah dengan jelas mencantumkan tentang hak anak, pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan Negara untuk memberikan perlindungan terhadap anak.  Orang tua, keluarga, dan masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara hak asasi anak tersebut sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum. Namun demikian juga dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak di indonesia, Negara dan pemerintah bertanggung jawab penuh untuk menyediakan fasilitas dan aksesibilasi bagi anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal dan terarah.
                   Didalam undang-undang tentang perlindungan anak juga menegaskan bahwa pertanggung jawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan Negara merupakan sebuah rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus-menerus demi terlindunginya hak-hak anak. Rangkaian tersebut harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan pada anak, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial. Tindakan ini bertujuan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang berpotensial, tangguh, memiliki jiwa  nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan ilai pancasila, serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa[i][6]
                   Di Indonesia, krisis ekonomi lebih dari sekedar ketidak seimbangan dalam fundamental perekonomian. Setidaknya, krisis ekonomi itu mengungkapkan kelemahan mendasar negara Indonesia. Masyarakat modern yang serba kompleks yaitu sebagai konsekuensi dari perkembangan zaman yang dipengaruhi oleh teknologi mekanisasi, industrialisasi, dan urbanisasi yang ternyata membawa dampak yang bersifat kausalitas dalam perkembangan di berbagai sektor kehidupan masyarakat, baik dari sektor ekonomi, social, politik, bahkan mempengaruhi tatanan nilai budaya suatu bangsa.
                   Secara material, arus perkembangan dan pertumbuhan tersebut berjalan dengan tanpa rintangan dan bahkan menjadi kebanggaan suatu bangsa. Di satu sisi, memang perubahan-perubahan tersebut telah membawa dampak kemajuan bagi kehidupan masyarakat suatu bangsa, namun di sisi lain dari perubahan tersebut ternyata membawa dampak terjadinya kesenjangan yang signifikan.
                   Di satu pihak, memang telah berdiri tegak bangunan-bangunan mewah yang membanggakan yang menjadi pusat perhatian, tetapi tidak jauh dari area tersebut ternyata tumbuh perkampungan kumuh yang memprihatinkan dengan kompleksitas permasalahan yang di dalamnya perlu segera mendapatkan perhatian khusus, yang sungguh hal ini adalah induk permasalahan yang dapat menghadirkan permasalahan baru yang masuk dan menyebar ke dalam tatanan kehidupan masyarakat suatu bangsa, yang hal itu pada akhirnya akan menjadi sebuah problem sosial yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat secara kompleks.
                  Tingkat kemiskinan yang parah inilah yang kemudian memicu setiap orang untuk melakukan segala cara agar tetap hidup (survive). Kondisi tersebut kemudian “memaksa” anak untuk terlibat dan ikut serta berusaha keluar dari tingkat kesulitan hidup. Maka tidak jarang lampu merah, perempatan jalan, terminal, pasar, dan tempat keramaian lainnya adalah tempat yang dirasa mudah untuk menghasilkan uang, hanya dengan menengadahkan tangan atau dengan sedikit menggunakan peralatan sederhana dan nyanyian-nyanyian khas pun dilantunkan,  sekedar mengharapkan imbalan uang  recehan  logam walaupun tidak jarang nyanyian mereka dihargai dengan gratis atau hanya mendapat ucapan terima kasih. Sehingga dapat dilihat dari realita tersebut karena kebutuhan ekonomi orang tuanya atau hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan dan kesenangannya sendiri sebagai anak-anak. Sehingga banyak di antara mereka terpaksa meninggalkan bangku sekolah, bukan karena mereka enggan menuntut ilmu atau bukan karena IQ mereka tidak mumpu untuk proses transfer ilmu di sekolah formal, akan  tetapi lebih kepada kondisi ekonomi yang mengharuskan mereka untuk seperti itu.
                    Indonesia merupakan salah satu negara yang meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak-hak Anak, melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 36/0 tanggal 25 Agustus 1990. Dengan diratifikasinya konvensi tesebut, berarti secara hukum, negara berkewajiban memenuhi hak-hak anak, baik sipil, politik, sosial, budaya, dan ekonomi. Akan tetapi, pada kenyatannya negara masih belum mampu memenuhi, Sampai sekarang sudah banyak produk hukum yang bisa dijadikan sebagai acuan dalam membahas tentang anak, khususnya perlindungan anak seperti :

1.     Pasal 34 dan Pasal tentang HAM di Pasal 28A UUD 1945.
2.     UU No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
3.     UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
4.     UU No. 20 tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention No. 138.
5.     UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
6.     UU No. 1 tahun 2000 tentang Pengesahan ILO Convention No. 183.
7.     UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
8.     UU No. 23 tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

                     Orang tua,  keluarga,  dan  optimal dan terarah [7] masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara Hak Asasi Manusia (HAM) tersebut sesuai dengan kewajiban yang dikehendaki oleh negara hukum. Demikian pula dalam rangka penyelenggaraan perlindungan negara terhadap anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara Upaya perlindungan negara terhadap anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun. Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh dan komprehensif, undang-undang perlindungan anak meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas yaitu :
1.    Non diskriminasi;
2.    Kepentingan yang terbaik bagi anak;
3.    Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan;
4.    Penghargaan terhadap pendapat anak.

                     Perlu kita camkan “Deklarasi Hak Anak-anak” oleh Majelis Umum PBB, yang disahkan pada tanggal 20 Nopember 1958, bahwa umat manusia berkewajiban memberikan yang terbaik bagi anak-anak. Dijelaskan dalam isi tersebut, bahwa anak-anak tersebut mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan khusus, kesempatan dan fasilitas yang memungkinkan mereka berkembang secara sehat dan wajar dalam keadaan bebas dan bermanfaat yang sama: memiliki nama dan kebangsaan sejak lahir; mendapat jaminan sosial termasuk gizi yang cukup, perumahan, rekreasi dan pelayanan kesehatan, menerima pendidikan, perawatan dan perlakuan khusus jika mereka cacat; tumbuh dan dibesarkan dalam suasana yang penuh kasih sayang dan rasa aman sedapat mungkin di bawah asuhan serta tanggung jawab orang tua mereka sendiri; mendapat pendidikan, dan andaikata terjadi malapetaka mereka termasuk orang pertama yang menerima perlindungan serta pertolongan memperoleh perlindungan baik atas segala bentuk penyia-nyiaan, kekejaman dan penindasan maupun segala perbuatan yang mengarah ke dalam bentuk diskriminisasi. Sebenarnya[8] masalah perlindungan anak adalah suatu masalah yang kompleks dan menimbulkan berbagai macam permasalahan yang lebih lanjut tidak mungkin dapat diatasi secara perorangan, tetapi dalam penyelesaiannya harus secara bersama-sama, karena dalam hal ini yang menjadi obyek dan subyek pelayanan dalam kegiatan perlindungan anak sama-sama mempunyai hak-hak dan kewajiban.
                    Perlindungan anak merupakan suatu usaha yang mengadakan kondisi dimana setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. Adapun perlindungan anak ini juga merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat. Dengan demikian perlindungan anak sedapat mungkin harus diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat.[9]
                  Salah satu indikatornya adalah keberadaan pengemis anak. Bukan hanya berkaitan dengan dilanggarnya hak-hak anak, tapi juga membawa dampak buruk bagi anak-anak, baik secara fisik maupun psikis. Lebih jauh, dikhawatirkan akan mengganggu masa depan anak-anak untuk mendapat kehidupan yang lebih baik. bahwa sampai saat ini masih terdapat perbedaan atau ketidak seragaman terhadap batas usia seorang anak dalam berbagai peraturan perundang-undangan, sehingga menimbulkan hambatan dalam proses penegakan hukum. Dilihat dari segi produk hukum, maka implementasi perlindungan atau jaminan hukum terhadap hak anak di Indonesia sudah agak memadai hal ini ditandai dengan adanya beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Anak dan telah pula meratifikasi Konvensi Hak Anak. Undang-undang yang mengatur tentang anak seperti; Undang-Undang Nomor. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan Undang-Undang Nomor. 23 Tahun 2002  tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Undang-Undang Nomor. 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan Undang-Undang Nomor.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Kehadiran peraturan perundang-undangan ini telah menjamin keberadaan hak anak, namun dalam pelaksanaannya yang masih jauh dari harapan, mengingat masih banyaknya anak yang dieskploitasi dalam berbagai kasus seperti pekerja anak, anak terlantar, anak pengemis, anak yang tidak dapat melajutkan pendidikan, anak korban seksual, perdagangan anak, anak yang terlibat dalam konflik dan sebagainya. Usaha untuk mencegah eksploitasi anak sebagaimana disebut di atas memang telah dilakukan pemerintah untuk mewujudkan peningkatan dan perlindungan kesejahteraan anak, namun kegiatan-kegiatan tersebut masih memerlukan perbaikan. Untuk itu perlu dilakukan penegakan terhadap aturan-aturan yang telah ada dengan mensosialisasikan. Bahwa pentingnya perlindungan hak konstitusional anak. Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk itu antara lain peningkatan pemahaman dan kesadaran masyarakat akan hak-hak anak, memberikan pendidikan pada anak-anak akan hak mereka, peningkatan pemahaman dan kesadaran para pembuat peraturan perundang-undangan akan hak-hak anak, peningkatan pemahaman, profesionalisme dari para penegak hukum mengenai hak-hak anak dalam melayani dan melindungi serta meningkatkan peran lembaga-lembaga kemasyakatan yang ada untuk menegakkan dan memulihkan hak-hak anak. Bellamy mengatakan, anak-anak yang bekerja di usia dini, yang biasanya berasal dari keluarga miskin, dengan pendidikan yang terabaikan, sesungguhnya akan melestarikan kemiskinan, karena anak yang bekerja tumbuh menjadi seorang dewasa yang terjebak dalam pekerjaan yang tak terlatih, dan dengan upah yang sangat buruk[10].
       Membiarkan anak-anak bekerja sebagai pengganti sekolah dapat membuat “lingkaran setan” (vicious circle); awalnya, bekerja menimbulkan dampak buruk bagi sekolah, selanjutnya berpendidikan rendahatau tidak berpendidikan sama sekali dapat mengakibatkan berlanjutnya pekerja anak.[11]


                         [1] Nurul Utami, Skripsi Hukum Universitas Riau  2011
                           [2] Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak,  Lembaran Negara RI Tahun 2002 Nomor 109.
                           [3] Http://www.SuaraPembaharuan.Com,( terakhir dikunjungi tanggal 19 Januari 2011, pukul 20.12 Wib)
                           [4] Ibid.
                          [5] Tim Kahmi Jaya. 1998. Indonesia di Simpang Jalan. Bandung : Mizan Pustaka. Hal. 22
          [6] Ahmad kamil dan fauzan, Hukum  Perlindungan Dan Pengangkatan Anak Di Indoensia, (Rajawali Press : 2008).
                         [7] Penjelasan Umum Undang-Undang  Nomor. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Lembaran Negara RI Tahun 2002 Nomor 109.
                           [8] Shanty Dellyana. Wanita dan Anak di Mata Hukum. Yogyakarta: Liberty. (Februari 2004). hal. 5
                           [9] Ibid. hal. 6  .   
                      [10] Carol Bellamy. 1997. Laporan Situasi Anak-anak di Dunia 1997. Unicef. Jakarta. hal 1.
                       [11] Nachrowi Djalal Nachrowi dan Hardius Usman. 2005. Pekerja Anak di Indonesia: Kondisi.    Determinan dan Eksploitasi (Kajian Kuantitatif). PT Grasindo. Jakarta. hal 2.


[i]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar